Our Crappy Social Game Club is Gonna Make The Most Epic Game Vol 1 Chapter 9

Tidak Ada Hal Semacam Itu

Akhirnya, Kai menjawab semua pertanyaan Nanaka sampai waktu pulang tiba.

“Aku penasaran apa ada yang bisa kita kerjakan di akhir pekan?” tanya Nanaka.

Sebagai tanggapan, Kai menyerahkan tanggung jawab padanya untuk menemukan poin spesifik yang harus ditingkatkan sebagai persiapan penulisan dokume perincian. Tentu saja, dia juga berniat melakukan hal itu, dan ingin saling membandingkan usulan satu sama lain setelahnya.

Akan tetapi, ada masalah lain. Semakin maju pihak perencana melangkah, semakin diharuskan bagi Aya, programmer mereka, untuk datang ke klub daripada mengurus pekerjaan paruh waktunya.

Tapi, mengingat betapa teguhnya gadis itu menyatakan keputusan, Kai pun tidak sanggup memikirkan suatu cara untuk membujuknya. Bukannya Aya tidak tahu bahwa klub sedang berada di ambang pembubaran; dia tahu dan tetap membuat pilihan tersebut. Dan rintangan terbesar bagi Kai adalah … dia cukup memahami perasaan Aya.

“… Mai deeah burazaah?”

“Ada apa, nee-san? Kenapa bahasa Inggris-mu rusak begitu?” Begitu Kai tiba di rumah, pintu depan terbuka dan Misako sedang menunggu seperti biasa.

Dia tahu bahwa Misako punya semacam bahan referensi untuk novelnya sebab wanita itu menunggu Kai dengan gaun celemek berjumbai—seperti yang terlihat di maid cafe. Area terbaik di kaki rampingnya dan dadanya yang ditekan mungkin akan membuat Kai sedikit terpikat jika dia bukanlah kakaknya.

Malang bagi pemuda itu, Misako adalah kakaknya. Kai mengira telah mendengar dia berkata, “Selamat datang, tuan muda,” dalam nada yang sangat sopan, tapi akan sangat merepotkan untuk meladeni setiap lelucon yang dia tampilkan—dan yang lebih penting, prioritas utama Kai adalah mencari cara untuk membujuk Aya kembali ke klub—jadi, dia mengabaikan kakaknya.

Dia mengabaikan Misako selagi mengunci pintu depan, menaruh tasnya di kamar, menuang kopi, lalu menyalakan laptop di ruang keluarga dan kemudian memutar otak untuk memunculkan ide.

Selama itu, Misako tampak ingin diperhatikan dan mengekor adiknya sepanjang waktu. Dia membuat kehebohan kala berjalan di depan meja ruang keluarga dengan sengaja tersandung, tapi Kai tetap abai. Dia benar-benar tidak peduli. Setelah beberapa saat, tidak menghiraukan kakaknya jadi terasa sangat biasa sampai-sampai dia pun lupa kalau wanita itu ada di sana.

“Kau tahu kenapa kelinci mati?” tanya Misako tiba-tiba.

“… Kekurangan gizi,” jawab Kai singkat.

“Hampir! Kau kekurangan satu kata! Kelinci mati karena kekurangan gizi—itu benar, yang berarti sebenarnya mati karena kesepian! Seperti kakakmu, tapi bukan kelinci! Aku—”

“‘Kesepian adalah kurangnya gizi dari hati ,’” Kai mengutip. “Haruskah seorang penulis menggunakan metafora biasa seperti itu?”

“………” Hening total. Misako jatuh terlalu dalam di keheningan hingga Kai bahkan tidak mendengar suara napasnya meskipun dia tepat berada di belakangnya.

Bukannya tidak peduli sama sekali, tapi dia tahu bahwa dengan menggubrisnya akan membuat Kai masuk dalam jebakan, jadi dia terus saja mengabaikan sang kakak.

“…”

Sekarang, masalah utama adalah Aya, yang tekadnya bulat. Sangat kuat, dan itu adalah fakta. Biasanya, para murid tidak mampu menghabiskan banyak uang dalam game jika mereka bermain melalui BOX.

“…”

Tetapi, selalu ada jalan untuk melanggar aturan dan cara termudah adalah dengan memiliki smartphone yang tidak teregistrasi sebagai ponsel siswa. Itu sudah cukup untuk mengabaikan aturan. Dengan memilih untuk tidak menghubungkan terminal ke jaringan sekolah, tidak akan ada batasan terhadap pembelian. Tentu saja, itu juga berarti orang yang melakukannya tidak akan mendapat poin gratis yang berkaitan dengan aktivitas sekolah, jadi dia harus membelanjakan uangnya sendiri bagaimanapun caranya. Artinya, kebanyakan murid tidak keberatan berbuat seperti itu.

“…”

Untuk kasus Aya, poin yang diberikan melalui sistem bahkan tidak cukup. Justru, dia memilih untuk bekerja paruh waktu dan tidak menautkan terminalnya. Jadi, dia dapat menggunakan gajinya untuk bermain game. Apa yang sebaiknya Kai lakukan terhadap kegilaan ga—

“……hiks…”

Huh? Tahu-tahu, Kai mendengar suara orang yang menangis di belakangnya. Dan tentu saja, ketika menoleh ke sumbernya, kakaknya sedang menangis. Wanita itu tampak seperti rongsokan terkena banjir dilihat dari betapa parahnya dia menangis dan Kai merasakan penyesalan yang timbul di dalam hatinya dengan hanya menatap kakaknya itu.

“N-Nee-san?” Kai menegur hati-hati.

“… hiks…. Wahhhh…. Hik….”

Tidak terlihat tanda-tanda ingin berhenti darinya. Sebaliknya malah. Kala adiknya mencoba berbicara, dia justru menangis lebih keras lagi.

“Tapi aku … aku bekerja sangat keras … dengan … hiks… dengan naskahku …, jadi aku boleh datang … dan aku senang sekali …, tapi kau… mengabaikanku … hiks …. Kau bilang aku ini … hiks… penulis yang gagal … hiks… jahat sekali … hiks ….”

“A-aku tidak menyebutmu gagal!” sangkal Kai, berusaha membela diri. “Tadi aku—”

Begitu ia mulai panik untuk menenangkan Misako, tangisan kakaknya tiba-tiba berhenti, dan wajahnya menyunggingkan seringai nakal.

“Kau khawatir?”

“… Maksudku, ya,” aku Kai.

“Hmph. Ini salahmu karena sudah memperlakukan kakakmu dengan sangat buruk. Omong-omong, aku benar-benar sakit hati waktu kau mengabaikanku,” Misako mengeluh. “Terdakwa mesti melangkah lebih hati-hati di masa depan.”

“Kalau begitu, sebagai terdakwa, aku ingin memanggil seorang pengacara.”

“Huh? Kau ingin melihat kakakmu memakai setelan pengacara?”

“… Haah.”

“Hentikan itu. Helaan napasmu itu terlalu berat hampir-hampir membuat bumi terbelah dua,” tegasnya. “Omong-omong, apa yang kaupikirkan sejak tiba tadi?”

“Kau tidak akan mengerti, nee-san.”

“Astaga! Aku penasaran kenapa! Mungkin karena aku menangis tadi! Kakakmu merasa diperlakukan seperti pengganggu dan adiknya yang imut tidak mau bicara padanya, jadi aku yakin dia bakal menangis lagi! Wahh!”

“Oh, baiklah!” Tidak ada pilihan lain, akhirnya Kai menjelaskan semuanya mengenai situasi Aya kepada kakaknya.

Akan tetapi, Misako sama sekali tidak bermain game sosial.

Faktanya, dia jarang sekali bermain game, sehingga rekasinya sama seperti yang Kai duga. “Yup, aku tidak mengerti,” tutur Misako riang. “Dia aneh sekali, makanya kedengarannya agak lucu.”

“Sudah kubilang kau tidak akan mengerti,” Kai menggerutu.

“Aku suka dengan orang yang setia pada keinginannya, tapi kalau terlalu sibuk bekerja sampai tidak mau datang ke klub yang hampir dibubarkan … itu butuh tekad yang kuat. Tapi …, memangnya gacha itu penting?”

“Ya, tapi aku yakin kau tidak akan mengerti, nee-san.”

“Itu cuma game, ‘kan?”

Caranya mengucapkan kalimat itu membuat Kai terpukul. “… Dengar. Aku tahu ini ‘cuma game’ bagimu, dan aku bahkan berpikir kalau Oushima-san terlalu berlebihan …, tapi aku tahu apa maksudnya, sedikit. Sedikit saja. Aku tahu rasanya putus asa saat tidak punya cukup saldo untuk mengacak gacha dan melewatkan versi pakaian renang dari karakter favorit. Itu masih tidak apa-apa, tapi setelah mengetahui bahwa karakter itu sangat kuat dan menjadi karakter yang memiliki hak asasi manusia untuk sementara waktu, namun tidak diperhatikan. Oh, karakter berhak asasi manusia maksudnya ‘Pemain mana pun yang tidak punya karakter itu berarti dia tidak punya hak asasi manusia’, karena mereka jauh lebih kuat dari unit lain … yah, anggap saja karakter berkekuatan super. Lalu, saat menyadari apa yang baru saja dilewatkan, perasaan semacam ini muncul, ‘Aku tidak akan pernah membiarkan penghinaan ini terjadi lagi!’ Tapi, entah seberapa besar kemarahannya, karakter itu tidak akan kembali lagi, dan itu tidak mengubah fakta bahwa dia melewatkannya. Kenyataan itu kejam. Setiap kali masuk dalam aplikasi itu, daftar dari seorang teman selalu dipenuhi dengan karakter tersebut dan itu suatu penyiksaan yang merendahkan tanpa akhir ……… Itu … bukan perasaan yang menyenangkan …. Ah—”

Sial, aku bicara terlalu banyak. Kai lantas menyesal kala memikirkan cara Misako saat menggodanya, namun yang perempuan itu lakukan hanyalah melayangkan senyuman lembut yang ceria. “… Jadi, itu sangat penting,” Kai menyelesaikan, “tergantung orangnya.”

“Hm, begitu ya. Kalau kau tahu sebanyak itu, berarti jawabannya sederhana. Aku tidak begitu mengerti, tapi tidak ada hal seperti itu yang bisa kau gantikan, bukan? Maka satu-satunya solusi adalah memberikan uang yang dia inginkan. Bukankah semua akan tuntas bila kau memberinya uang?”

“Tidaktidaktidaktidak—” Kai berkata terburu-buru.

“Itu bukan ide yang buruk—atau begitulah menurutku jika ini bisnis. Editor membayar untuk menerma naskahku. Jadi, kau bisa membiayainya untuk memprogram … idealnya, paling tidak.”

“… Padahal kami ini satu klub.” Merupakan suatu penentangan terhadap regulasi apabila klub game sosial menyewa bantuan dengan uang asli.

Ada beberapa kasus saat pihak sekolah akan bekerja sama dan memanggil developer luar, tapi tidak pernah melibatkan pencairan modal. Itu dilakukan dengan pertukaran tanpa uang, di mana pihak sekolah meminjam seorang programmer dan sebagai gantinya, mereka meminjamkan salah seorang ilustrator pada pihak lain.

“… Hm?” kata Kai setelah beberapa saat. “… Mengganti?”

“Ada apa, Kai?”

“Bukan apa-apa …. Hmm, tapi, aku mengerti. Tentu saja. Itu … satu-satunya cara.” Dia tidak percaya, namun percakapan kacau ini bersama kakaknya yang juga kacau, menuntun Kai menemukan sebuah jawaban.

Misako menyadari dan memperlihatkan seringai bangga. “Lihat, apa kataku?” ujarnya. “Berbincang ria dengan kakakmu pasti akan memberimu jawaban, ya ‘kan?”

“… Kali ini, dan kali ini saja, aku tidak bisa berkata salah padamu,” Kai terpaksa mengaku.

Berpikir terlalu keras dapat menjadikan otak kaku dan aliran ide baru bisa terbendung. mengambil waktu untuk bersantai dan membicarakannya bersama orang lain merupakan hal yang penting, adalah suatu ajaran yang diberikan Akane pada Kai beberapa kali. Kai cenderung memiliki kebiasaan buruk dengan meratapi dirinya sendiri yang sedang terpojok, menurut gadis itu.

Andai ia tidak bercakap dengan Misako, solusi tidak akan datang dengan begitu mudahnya dan dia bakal tenggelam dalam pikirannya sendiri.

“… Terima kasih, nee-san.”

Walau Kai memberikan ucapan terima kasih yang tulus, Misako justru memasang ekspresi terkejut dan mulai tertawa terbahak-bahak. Kai malu sekali dan hanya bisa berpaling.

Karena rencana untuk meyakinkan Aya sudah ada, Kai pun sanggup menghabiskan akhir pekannya dengan fokus memilah masalah yang perlu diatasi.

Dia ingin memiliki statistik yang merincikan jumlah tampilan menu Gacha dan Leveling, atau data tentang berapa kali link yang membentuk leading line diakses demi menemukan bagian mana yang tidak bekerja seperti seharusnya. Akan tetapi, data tersebut tidak tersedia dan satu-satunya orang yang dapat mengambil data itu justru menggunakan semua waktunya pada pekerjaannya sendiri.

Sedih sekali rasanya saat mendapat informasi hanyalah angan semata. Tapi bagaimanapun juga, dia masih memiliki perkiraan yang lumayan tanpa memperhitungkan jumlah.

Data akses di halaman Gacha bisa sangat tinggi atau sangat rendah. Menambah jumlah leading line di gacha berarti—jika semua orang bekerja dengan baik—akan meningkatkan jumlah jalan pintas menuju tujuan pengguna. Kai pikir mereka pasti menganggapnya wajar dan akan memperoleh jumlah akses yang besar, tapi jika itu yang terjadi, maka tugas seorang perencana akan sangat mudah. Rasanya seperti bagaimana jika roti isi daging diperbanyak dalam daftar penjualan di sebuah toko, selera para pelanggan terhadal roti isi daging pasti hilang.

Bagaimanapun juga, sangat penting untuk mengetahui batasan seseorang dan mengambil keputusan tanpa berlebihan. Apabila menuntun pengguna menuju gacha menimbulkan minat untuk mengacak, maka tidak akan ada game sosial dengan profit bermasalah di planet ini.

Mereka menghapus link dalam jumlah berlebih yang menuntun ke gacha dan menggantinya dengan link ke tempat yang lebih pantas. Kai menggunakan ini sebagai inti dasar untuk menyiangi semua masalah yang ada. Selama dia menyibukkan diri dengan bekerja, akhir pekan pun siap berlalu.

Di Senin pagi, Kai bangun lebih awal dari biasanya. Sebelum ke sekolah, dia ingin mencetak lembar Excel yang telah siap di toserba. Dia bisa memakai printer di sekolah, tapi untuk suatu alasan, toko menjadi pilihannya.

Alasannya barangkali karena dia merasa senang. Kai membuat dokumen ini hampir setiap hari ketika masih bersekolah di Tsukigase, namun sejak pindah sekolah, ini pertama kali baginya setelah berbulan-bulan. Kenyataan yang sesungguhnya adalah dia ingin melihat pekerjaannya terwujud dalam bentuk fisik secepat mungkin.

Dia hendak meninggalkan rumah satu jam lebih cepat seperti biasanya, ketika—ding dong—bel pintu tiba-tiba berdering.

Kai tanpa sengaja memiringkan kepala. Bila orang di luar rumah adalah kakaknya, maka dia tidak akan menekan bel. Nyatanya, bel pintu tidak pernah dibunyikan oleh Misako selama Kai tinggal di apartemen ini. Tetapi, dia tidak bisa memikirkan siapa pun lagi selain kakaknya yang menurutnya ada di sana. Ini terlalu pagi untuk seorang pengantar paket dan tidak ada yang dipesan pemuda itu saat ini.

Kai pun tahu bahwa Misako pasti ingin adiknya berpikir seperti itu dan sengaja menekan bel pintu. Kai menyimpulkan semuanya di kepala dan kemudian memasang ekspresi setengah lelah kala membuka pintu dengan acuh tak acuh, namun ujung-ujungnya malah sangat terkejut untuk memulai pagi.

“Ah, pagi!” Gadis itu mengangkat tangan untuk menyapa. Senyumannya lebih cerah daripada matahari pagi.

“A-Aoi-san…? S-selamat … Pagi?” balas Kai, benar-benar lengah. Kenapa? Kenapa dia ke sini?

“Maaf karena mendadak datang …. Tunggu, kau sudah mau berangkat juga?” Nanaka bertanya. “Bukannya ini terlalu cepat?”

“Aku mau singgah ke toko dulu sebelum ke sekolah,” papar Kai.

“Oh, begitu ya. Ayo jalan kalau begitu.”

Kai tidak mengerti bagaimana keadaan ini bisa terjadi, tapi mereka berdua akhirnya pergi ke toko bersama-sama.

Toserba terletak di jalur yang sama menuju stasiun kereta dan ada beberapa murid dalam seragam olahraga yang membeli sarapan selama perjalanan latihan pagi mereka.

Kai sama sekali tidak berniat belanja, jadi dia langsung ke arah printer. Dia merogoh ponselnya, lalu mengirim data yang telah siap ke mesin. Dia awalnya hendak mencetak satu kopi saja, tapi karena Nanaka sedang mengamati, pria itu pun memilih dua kopi.

“Apa yang kaucetak?” tanya gadis itu.

“Aku juga mencari fitur yang harus kita tingkatkan,” Kai memberitahu. “Juga, ada waktu ekstra, jadi aku menulis perincian untuk beberapa bagian.”

Satu kopi utuh keluar dari printer selagi mereka berbincang. Kai menumpuk kertas-kertas itu untuk dirapikan, lalu menyatukan sudutnya dengan stapler yang dibawanya dari rumah. Kai memeriksa ulang untuk memastikan tidak ada tulisan yang cacat, kemudian menyerahkannya pada Nanaka.

“Ini,” tawarnya.

“T-terima kasih!”

Nanaka mengambil lembaran itu dengan gugup seperti murid yang menerima sertifikat kelulusan di podium gedung olahraga sekolah. Dia sangat cermat, memindai dokumen itu saat membacanya dengan teliti, halaman demi halaman. Kai senang gadis itu membacanya dengan penuh perhatian, namun Nanaka terlalu serius hingga pemuda itu jadi malu.

Bahkan setelah Kai selesai mencetak lembarannya sendiri dan meninggalkan toko, Nanaka masih asyik membaca.

“Shiraseki-kun!” serunya.

Tepat saat Kai ingin memanggilnya dengan berkata, “Ayo,” gadis itu mendekatkan wajahnya.

“Bolehkah aku mengambil yang ini?!” Nanaka ingin tahu.

“T-tentu saja.” Itulah rencananya, jadi Kai tidak keberatan.

“Um, dan ….” Nanaka dengan ragu menarik keluar dokumen serupa yang telah diklip dari tasnya. Halaman pertama tertulis, Dokumen Peningkatan MiSt. Begitu Kai sadar, suara keras dalam pikirannya berteriak karena dia telah mengacaukannya.

Dia mengacau. Waktu yang tepat.

“Um …. Aku coba menulis ini selama akhir pekan …. Tapi, aku belum pernah membuatnya, jadi, um, aku tidak tahu caranya dan ini tidak sebagus—”

“Tidak apa-apa!” Kai menyela kalimatnya dan mengambil dokumen tersebut tanpa menunggu tanggapan.

Di hari Jumat, satu-satunya hal yang diminta Kai pada Nanaka adalah, “Aku ingin kau membuat sebanyak mungkin daftar poin yang menurutmu harus kita perbaiki. Daftar tak berurut pun tidak apa-apa.” Itu sudah lebih dari cukup untuk untuk mengetahui apa yang akan mereka perbuat. Dia ingin memanfaatkan dokumen yang baru saja di cetak sebagai rujukan saat mereka mulai mengatur poin-poin tersebut menjadi dokumen perincian yang semestinya. Itulah alasan utama Kai memasukkan sejumlah contoh tentang penulisan perincian.

Sebutannya adalah “dokumen perincian,” tapi isinya cukup kompleks dan dapat ditulis dalam berbagai cara tergantung bermacam-macam faktor. Menyerahkan selembar kertas kosong pada developer pemula dan menyuruh mereka untuk “menulis dokumen perincian” hanya akan menimbulkan kebingungan. Meski mereka memiliki ide mengenai tampilan macam apa yang mereka inginkan, fitur seperti apa yang mereka kehendaki, mereka tetap tak mempunyai pengetahuan pasti tentang cara memformat hal-hal tersebut menjadi lembaran dokumen. Kecuali ada semangat dan tekad yang tinggi, mereka mungkin akan langsung melawan tantangan dan duduk bekerja dengan bintang terpancar di mata mereka.

Itu sebabnya, kini, Kai merasa sangat malu. Di dalam hatinya, dia tahu bahwa gadis itu tidak memiliki semangat seperti itu—Kai menganggap motivasinya lebih kurang dari yang dibutuhkan.

Bagi Kai, dia bisa dengan mudah menyalin format yang digunakan di Tsukigase dan mengubah kontennya untuk mencocokkannya dengan MiSt agar memperoleh dokumen yang rapi secara sempurna, dan kini ia sudah melakukannya. Tapi, Nanaka tidak mengantongi pengalaman itu. Jadi, Kai pikir gadis itu bisa menemukan bagian yang ingin dia perbaiki selama akhir pekan dan menggunakan dokumen miliknya hari ini agar dia mulai menulisnya sendiri. Itu sudah lebih dari cukup dan pemuda tersebut pun memutuskan bahwa itulah langkah yang harus mereka ambil.

Dia menyimpulkannya seperti itu, walau dia melihat Nanaka begadang semalaman untuk membaca buku referensi hari itu.

“Um, uhh, itu mungkin sangat sulit dibaca.” Nanaka berkata dengan beribu maaf.

Dia benar; ini sulit dibaca. Tetapi, itu wajar. Yang lebih penting, semua informasi esensial dijelaskan secara rinci dan terurut sesuai caranya sendiri sampai berhasil menyentuh hati Kai. Daftar terperinci mengenai semua peningkatan potensial yang diminta Kai berada di bagian awal dokumen, dan dia bahkan menuliskan perincian dengan caranya sendiri untuk mengatasi masalah tersebut. Sebuah emosi yang hanya bisa disebut tekad mengaliri seisi dokumen.

Semua pasti berhasil. Pikiran itu otomatis mendatangi Kai.

“Serahkam Oushima-san padaku,” katanya keras-keras.

“Huh?” Nanaka kebingungan.

Bila Nanaka memiliki kegigihan dan tekad seperti ini, aku bisa percaya padanya, Kai memutuskan. Meski dia tidak ada, gadis itu tentu sanggup menyelesaikan dokumen perincian.

“Apa ini? Kau seperti ingin menjadikanku penjahat kelas kakap, pwahaha!” Aya menganggap situasi ini menggelikan sebab dia mulai tertawa dan menyeringai sendiri.

Sepulang sekolah, Kai dan Nanaka bekerja sama untuk menangkap Aya saat dia berusaha pulang dengan kecepatan cahaya dan mereka membawanya kembali ke ruang klub. Kai dan Aya duduk saling berhadapan dengan meja di tengah, sedangkan Nanaka bertugas menjadi penjaga di pintu masuk agar gadis itu tidak kabur.

Kai meletakkan tumpukan kertas yang ia terima dari Nanaka di meja.

Nanaka tersipu dan menunduk seakan masih merasa malu hasil pekerjaannya dilihat orang lain.

“Apa ini?” Aya bertanya.

“Ini masih dalam proses, tetapi inilah dokumen perincian kita saat ini.”

“Wow, kau memang perencana dari Tsukigase!” kata Aya. “Kau bekerja dengan cepat.”

“Bukan aku yang membuatnya,” Kai memberitahu. “Tapi, Aoi-san.”

“… Huhwha?” Aya tidak percaya. Netranya mengerling dari Kai ke dokumen, dan kemudian Nanaka. Dia membeku dengan mata dan mulut terbuka lebar.

“Nana-sen … menulis specs doc …? Maksudmu Nana-sen yang itu, yang memperlihatkan ilustrasi padaku dan berkata ‘Aku ingin jadi seperti ini!’ waktu kami menciptakan MiSt, membuat … specs doc …?” Aya bertanya lagi, benar-benar tercengang.

(T/N: Specs Doc adalah singkatan dari dokumen perincian dalam bahasa Inggris)

“Um … aku sungguh tidak tahu apa-apa waktu itu …,” Nanaka menggerutu. “Ughh … aku malu sekali ….”

Kai dapat melihat adegan yang terputar di depan matanya. Aya bertanya “bagaimana rinciannya?” dan Nanaka menunjukkan gambarnya. Tidak akan aneh jika dia seorang ilustrator yang menggambar desain karakter, tapi akan sangat buruk bagi programmer yang ingin mengetahui detail implementasi. Sebenarnya, hebat juga mereka berhasil menyelesaikan pembuatan game milik mereka sendiri. Itu merupakan suatu keajaiban.

“Coba kulihat,” ucap Aya, mengambil dokumen perincian untuk dibaca sementara Nanaka menyaksikan dengan napas yang tegang.

Kai ingin memuji Nanaka karena tidak lari; saat pertama kali pemuda itu menyerahkan dokumen perincian pada Akane untuk diperiksa, dia sangat tertekan dan lari menuju kamar mandi di tengah ulasan. Dia diomeli habis-habisan karena alasan yang sangat tidak berkaitan dengan isi dokumennya.

“… Uh-huh.” Aya menaruh kembali lembaran itu ke meja untuk diratakan lagi. “Kau serius ingin memenangkan kompetisi, ya?”

“Itu rencana sementara. Kita akan menambahkan lebih banyak hal untuk menyelesaikan dokumen selama beberapa hari ke depan,” Kai menjelaskan.

“Tapi, aku tetap tidak bisa membantu,” ujar Aya, mengayunkan lengannya menjadi huruf X besar. “Kemari, biar kuperlihatkan sesuatu.” Dia merogoh ponselnya dari saku rok dan mulai mengetuk-ngetuk layar, yang diluapi sejibun logo game sosial.

“Dari sini ke sini adalah game yang karakternya harus kudapatkan 100% dari gacha,” jelasnya. “Dan dari sini ke sini adalah yang aku roll demi karakter yang menurutku imut sampai mereka kembali. Dan kemudian, dari sini ke sini ….” Aya terus-menerus menjelaskan rencana gacha-nya.

Konsep dari gacha pada dasarnya mengandalkan keberuntungan. Terdapat beberapa game yang memiliki persentase di mana seseorang akan dijamin mendapatkan sesuatu jika dia mengacak dalam jumlah tertentu, namun meskipun begitu, biayanya sangat mahal untuk mencapai keadaan tersebut. Sederhananya, rencana gacha Aya sangatlah gila. Jikalau dia tidak melewatkan animasi pengacakan, maka butuh seharian penuh untuk mengacak gacha.

Dan tentu saja, Itu bahkan belum mengakhiri pengeluaran uang yang dibutuhkan.

“Dan itu sebabnya aku mencurahkan diriku untuk bekerja paruh waktu,” pungkasnya.

“Itu … tidak bisa. Tolong, pertimbangkan lagi.” Kai mengunci pandang ke arahnya dan tidak berpaling. Dia tahu bahwa menjadi yang pertama berpaling dalam skenario semacam ini tidak akan pernah berakhir dengan baik. Senyuman menyeringai terukir di wajah Aya lesu, seolah ia bertanya, ‘Lalu?’

“… Oushima-san, kau butuh uang,” kata Kai. “Benar ‘kan?”

“Maksudku, itulah tujuan dari bekerja paruh waktu,” jawab gadis itu.

“Kalau begitu, jika bisa mendapat uang tanpa bekerja, kau tidak akan bekerja lagi, ya ‘kan?”

“… Apa sebenarnya maksudmu?” tanyaya curiga. “Apa ini kesepakatan rahasia?”

“Kerja paruh waktumu ….” Kai tahu dia tidak bisa mengatakan ‘tolong keluar’ begitu saja. Itu tidak ada gunanya. Dia tidak punya uang. Dia tidak bisa mengacak gacha. Itu bukanlah cara untuk menaklukkannya.

Kalau begitu, hanya ada satu hal yang bisa ia ucapkan: “Aku akan melakukannya untukmu.”

“Huh?”

“Apa?”

Suara kebingungan Aya dan Nanaka berdengung bersama.

“Aku juga pernah mengalami kesedihan karena tidak bisa mengacak gacha yang sangat kuinginkan. Jadi … aku tidak bisa membantah alasanmu. Lagi pula, kau tidak bisa mengacak tanpa uang. Makanya aku saja yang bekerja. Sebagai gantinya, Oushima-san, tolong lakukan tugasmu sebagai programmer. Hanya kau yang sanggup melakukan itu dalam klub ini. Kaulah satu-satunya orang yang bisa melakukannya.”

Kai tidak bisa menggambar. Dia tidak bisa menulis. Tentu saja, dia juga tidak tahu tentang pengodean. Namun, dia mungkin bisa bekerja paruh waktu. Dia belum pernah melakukannya, tapi dia tahu bahwa Aya bisa, maka dia pun pasti bisa setelah mencoba.

Kai sebenarnya cemas dengan dokumen perincian, tetapi kegigihan Nanaka membuatnya tenang. Pada titik ini, Kai tidak perlu berbuat banyak untuk memperoleh hasil yang tepat. Selama pekerjaannya tidak terlalu berat, maka akan memungkinkan baginya untuk memeriksa progres selagi bekerja.

Usulan Kai terlalu berlebihan hingga Aya memasang ekspresi terkejut yang sama saat melihat dokumen perincian yang ditulis Nanaka. Lalu, seolah tak dapat menahannya lagi, tawanya meledak dengan tangan disamping. “Ahahahahahahahaha! Astaga! Apa-apaan itu?! Senpai, kau mau bilang kalau kau akan memberiku gajimu dari pekerjaan paruh waktumu?!”

“Tepat sekali,” Kai membenarkan.

“Sungguh …?! Ya ampun, orang ini benar-benar serius …! Aha… haha… ha, fiuh. astaga, tadi itu lucu sekali. Sayang sekali, senpai, kau sedikiiiiit melenceng.”

“Melenceng?” tanyanya. “Kau ingin aku mengacak dengan uang orang lain? Ayolah, omong kosong macam apa itu?! Senpai, kau tidak tahu apa-apa tentang kenikmatan gacha! Dengar! Gacha tidak berarti apa-apa jika diacak dengan uang orang lain! Kau menumpahkan darah, keringat, dan air mata dalam pekerjaan yang tidak diinginkan, tapi kau menguatkan diri dan tetap melakukannya! Uang yang kautabung dari penderitaan yang melelahkan itu terkuras dalam gacha—dalam sekejap, sampah seperti itu menjadi harta karun. Momen itulah yang penting! Momen itu adalah segalanya! Tidak ada kegembiraan atau kesenangan juga kebahagiaan yang terasa jika memakai uang orang lain!”

Pidato menyedihkan Aya membuat lidah Kai kelu. Dia menduga akan mendapat jawaban seperti, “Apa gunanya kalau aku tidak mendapatkan karakter yang kuinginkan dengan usahaku sendiri?!” tapi, ternyata bukan itu. Yang justru menjadi jawaban adalah manifesto dari pencandu, untuk pencandu, dan hanya dapat dipahami oleh pencandu lain. Gadis itu berkata bahwa dia melenceng, namun saat ini dia tidak ingin pernyataannya mendekati.

“Yah, tapi,” Aya memberitahu, “aku tetap menulis programnya.”

“… Huh?”

“Kenapa kau terkejut?” Aya ingin tahu. “Itu intinya, ‘kan?”

“B-benar,” Kai setuju. “Tapi … memangnya … tidak apa-apa?”

“Mm, yah, kalau ini permintaan Nana-sen yang dulu, aku akan bilang tidak …, tapi,” ucap Aya, mengetuk dokumen perincian Nanaka dengan jarinya. “Ada semangat dalam kertas-kertas ini. Tidak boleh diabaikan.”

“…Ah-chan.” Nanaka hampir menangis.

“Juga, senpai,” kata Aya, “kau ini ternyata playboy.”

“Huh? Aku?”

“Kau bilang kalau kau tidak bisa membantah pemikiranku karena kau tahu bagaimana rasanya sangat ingin sekali mengacak …, bahkan orang tuaku tidak pernah berkata begitu padaku.”

Kai pun berpikir bahwa memang masuk akal bila orang tua yang terhormat tidak akan memahami putri mereka andai dia memilih untuk bekerja paruh waktu demi membantu klubnya yang siap dibubarkan. “Itu membuatku sedikit senang. Begitu, dan …” Aya mempercepat ucapannya dengan malu saat menambahkan, “Programmer itu pencipta juga. Tidak ada pencipta mana pun yang cukup bodoh untuk menyia-nyiakan segalanya setelah diberitahu ‘Kaulah satu-satunya orang yang bisa melakukannya.’”


Tinggalkan komentar