Our Crappy Social Game Club is Gonna Make The Most Epic Game Vol 1 Chapter 8

Alasan di Balik Air Mata Itu

“Aku mau singgah ke toko buku dulu,” cakap Nanaka, begitu keluar dari gerbang tiket di Stasiun Niigata.

Kai tahu bahwa terdapat toko buku yang lumayan besar di lantai bawah sebuah bangunan yang terletak tepat di samping stasiun dan dia tahu kalau Nanaka berencana pergi ke sana. Tetapi, itu berarti dia harus berjalan lagi hingga ke ujung stasiun untuk menemaninya. Ada tangga yang berperan sebagai jalan pintas yang mengarah ke tujuan mereka, jadi Kai pun mengantarnya sampai ke tempat itu.

“Baiklah,” ujar Kai. “Sampai jumpa.”

“U-um!” Nanaka berderum ketika mereka hendak berpisah untuk menghentikan langkah Kai. Dia masih berdiri di depan tangga dengan ekspresi yang rumit.

Kedua tangannya mencengkram kuat roknya seakan memerans setiap ons keberanian yang telah terkumpul.

“Alasan kau berkata bahwa aku luar biasa karena aku ini seorang perencana …,” katanya, “… bukan?”

Kai sudah berantisipasi, namun yang dia pikirkan adalah sebuah konfirmasi mengenai apa yang baru saja dikatakannya. Kenapa dia ingin memastikan hal itu? Kai penasaran. Dia menganggapnya cukup aneh, setelah berpikir lagi, ia menyadari mungkin ada sesuatu yang menurut Nanaka penting.

“Seperti yang kaukatakan, ilustrasimmu tidak sebagus Kuroba-san,” Dia memberitahu. “Tapi, kupikir itu lebih dari sekadar senjata untuk digunakan oleh seorang perencana. Setidaknya, itu senjata yang tidak kumiliki.”

Kai sama sekali tidak berbohong atau melebih-lebihkan pujian. Menurutnya Nanaka hanya kurang percaya diri akibat belum berpengalaman sebagai seorang perencana. Ini sebabnya dia ingin gadis itu tahu bahwa dia punya keunggulan yang tidak dimiliki perencana lain.

… Lalu, mengapa? Mengapa air mata merembes keluar dari matanya saat berdiri di hadapan Kai?

“M-maafkan aku,” ucapnya buru-buru. Nanaka tampak kaget seolah tidak tahu dengan reaksinya sendiri. Dia berbalik dan berlari mendaki tangga. Air mata yang tak diseka bergetar oleh momentum pergerakannya, kemudian menari di udara, disinari oleh kemilau merah dari matahari yang siap tenggelam.

Kai tidak tahu mengapa. Dia tidak mengerti, tapi tahu bahwa dia harus mengejar. Tetapi, begitu ide tersebut terlintas, pamdangannya mengabur.

Sensasi tumpul dari benturan perlahan terasa dan kesakitan hebat menjalar ke wajahnya, tepatnya di dekat mata. Selagi memegang sumber rasa sakit, Kai akhirnya menyadari bahwa ada sesuatu yang menghantam wajahnya. Dia menahan sakit untuk menunduk dan melihat sebungkus sasa dango bertempat di kakinya.

‘Sasa dango’ secara harfiah memiliki arti yang sama seperti namanya; itu adalah dango yang dibungkus daun bambu, di mana ‘sasa’ berarti bambu. Makanan itu menjadi salah satu permen Jepang paling terkenal di Niigata, walaupun Kai baru mengetahuinya setelah Misako membawakan beberapa untuk dimakan saat dia pindah.

Tentu saja, tidak ada sasa dango di kakinya beberapa saat yang lalu. Dia tidak tahu darimana permen ini datang, tapi dia tahu itulah yang menabrak wajahnya.

Kai membungkuk untuk meraihnya kala sesosok bayangan muncul di depan tangannya yang terulur, dan sepasang sepatu tanpa tali berhenti tepat di depan dango.

Dia mengambil permen itu, lalu mendongak untuk menengok Eru yang sedang marah berdiri tegak dihadapannya. “Carilah tempat untuk pergi ke neraka, mau ‘kan?” katanya menantang. Itu berarti dialah yang melempar sasa dango kepadanya.

“Mendadak … sekali.” Kai berhasil membalas.

Adegan kebuntuan mereka berada di tengah lorong yang ramai selama jam-jam sibuk, jadi kerumunan orang merasa kesal ketika harus berjalan memutari mereka. Eru tampak tak peduli sama sekali. Mata kanannya, yang tidak terhalang oleh poni, membara oleh amarah penuh dendam.

“Bolehkah kutahu kenapa kau membantunya?” tanyanya tajam.

“… Maksudmu, Aoi-san?” Kai menjawab.

“Aku yakin kau punya motif rahasia.”

“Huh?”

“Sungguh menyakitkan mata,” Eru berkata. “Aku sudah melihat banyak pria yang salah paham dengannya. Sudah begitu sejak kami kecil. Nanaka-ku yang tersayang itu imut, baik, dan memperlakukan semua orang dengan ramah. Sudah jadi tugasku untuk mengejar monyet-monyet tolol yang jatuh cinta dan tergila-gila, juga berkhayal kalau dia juga sangat mencintai mereka.”

“Aku tidak—” Kai berusaha menyangkal, sebelum Eru menyela.

“Oh, kalau begitu, kau tidak menyukainya?” ancamnya.

“Yah—”

“Kau tidak menyukainya, kan?”

“Aku—”

“Kau tidak menyukainya, ya?” Eru mendesak untuk yang ketiga kali.

“Aku … tidak tahu.” Kai ingin mengatakan bahwa dia salah, namun kalimat itu tak terbentuk dalam mulutnya. Nanaka memang imut; itu faktanya. Saat pertama kali bertemu dengannya, dia pikir mereka hidup dalam dunia yang berbeda. Jika tidak ada game sosial sebagai perantara, mereka mungkin tidak akan pernah berbincang lagi. Tidak akan pernah, Pastinya.

Namun kini, Kai justru berbincang dekat dengannya dan merupakan suatu kebohongan jika dia tidak senang terhadap hal itu. Barangkali “tergila-gila” adalah kata yang lebih cocok. Tapi, meminta dia untuk menghentikan debaran jantungnya saat berbicara dengan gadis imut seperti itu—dan melihat senyuman imutnya—merupakan suatu tugas yang mustahil.

Hanya saja … dia tidak yakin apakah itu dapat dianggap “menyukai” seseorang. Kai sendiri berpikir kalau ketidaktahuannya adalah hal yang wajar. Sementara semua teman satu kelasnya membicarakan cinta, dia cuma bergelut dengan game sosial. Tidak mungkin dia memahami seluk-beluk mengenai perasaan tersebut. Jadi, dengan jujur, dia tidak tahu apakah dentuman di dadanya saat bersama Nanaka adalah karena dia “suka” dengannya atau tidak.

Oleh karena itu, Eru sepertinya menyimpulkan segalanya sendiri dan pandangan matanya berubah dari amukan menjadi seringai hina. “Aku tidak peduli kau itu dari Tsukigase,” katanya,“atau dari mana pun juga. Kalau kau membantunya karena motif tersembunyi, maka aku akan melenyapkanmu, dengan cepat.”

“Bukan—begitu,” timpal Kai. Kali ini, kalimatnya terucap secara refleks. “Aku tidak membantu Aoi-san karena ada motif tersembunyi.”

Eru kemungkinan besar tidak menduga tanggapan itu sebab dia agak tersentak. “L-lalu, kenapa kau membantu gadis kesayanganku?”

“… Aku hanya tidak tega membiarkan dia seperti itu,” akunya. Awalnya semua dimulai dengan kemarahan; Kai tidak dapat memaafkan Ketua OSIS ketika dia dengan santai berkata bahwa game sosial itu tidak berharga. Orang itu tidak tahu betapa sulitnya mengembangkan satu game sosial dan masih berani menghina. Kai tidak bisa tinggal diam di hadapan semua itu.

Dan karena si bodoh arogan itu, Kai menemukan dirinya tidak bisa meninggalkan klub game sosial yang berada di ambang kehancuran—untuk meninggalkan Nanaka—sendirian. Suka dan benci tidak ada hubungannya dengan itu.

“Aku tidak menganggap diriku sebagai perencana yang berbakat …” ucapnya pelan. “Tapi, jika aku bisa membantu, bahkan meski hanya sedikit … pasti akan kulakukan. Itu sebabnya aku melakukan semu ini.”

“… Kau memang harus mencari jalan ke neraka,” kata Eru, yang keadaannya sudah tampak lebih dari marah disertai rasa tidak tertarik ketika ekspresi dan tatapannya mendingin. “Jika kau terus membantunya, Nanaka-ku tersayang akan menangis lagi.”

“Apa maksud—” Kai coba bertanya, tapi dia tidak ingin tinggal lebih lama.

“Aku hanya membeli ini karena Nanaka menyukainya …” Eru menggerutu. “Menjijikkan sekali.” Dia merampas sasa dango dari tangan kanan Kai dan segera berbaliknya, menandakan bahwa percakapan mereka berakhir. Dia tidak menoleh lagi saat lenyap dari pandangan.

Kai gelisah sekali sesampainya di rumah.

Nanaka sudah memberikan informasi kontaknya dan Kai kini bisa dengan mudah saling mengirim pesan atau bermain LIME dengannya. Dia ingin menanyakan pertanyaan sederhana: mengapa dia menangis? Tentu saja, dia tidak akan risau jika berani bertanya.

Pada akhirnya, kerisauannya tidak berkurang saat gagal menguatkan diri hingga esok pagi tiba.

Nanaka tidak kelihatan dalam perjalan ke sekolah, bahkan dalam stasiun kereta. Ketika Kai sampai di ruang kelas, gadis itu sudah berada di sana, berbincang ria dengan temannya. Tidak ada tanda-tanda nyata dari air mata yang keluar melalui suara dan ekspresinya.

“Ah! Selamat pagi, Shiraseki-kun!” Nanaka menyapa dengan ceria.

“S-selamat pagi,” Kai membalas waspada.

Sebaliknya, gadis itu melemparkan Kai sambutan ceria begitu menyadari kehadirannya. Kai tidak paham. Apa yang harus ia perbuat? Dengan pikiran kacau, penjelasan guru dalam pelajaran Bahasa Jepang, Matematika, dan Bahasa Inggris, semuanya terdengar seperti bahasa alien.

Dari tempat duduk Kai yang jauh di belakang dan di samping jendela, dia dapat melihat punggung Nanaka, juga sedikit sisi wajahnya. Sesuai pengamatan Kai, Nanaka tidak berbeda dari sosok cerah yang biasanya. Faktanya, hari kemarin seolah ilusi semata—seakan segalanya hanyalah mimpi.

Tetapi, saat kelas berakhir dan Nanaka menghampirinya, dia menyadari sesuatu. “Ayo, pergi ke klub, Shiraseki-kun.”

“… Um, bukannya kau lelah?” tanya Kai. Sampai gadis itu mendekatinya, Kai cuma memandangnya dari kejauhan. Akan tetapi, kala mereka saling berdampingan, dia dapat melihat perbedaan di wajahnya. Karena kulitnya yang cerah, penampilannya semakin kentara: dua kantung gelap di bawah matanya yang tidak ada di hari kemarin.

“Uhh, yah … sedikit,” Nanaka mengaku. “Tapi, itu tidak penting. Ayo, kita pergi.” Dia menarik Kai untuk berdiri dengan menggenggam lengan bajunya.

Biasanya Kai tidak akan bisa tenang jika hal ini terjadi. Namun sekarang, pemikiran itu bahkan tidak terlintas di benak pemuda itu.

Ada yang aneh dengannya, Kai menegaskan. Lalu dengan keras, ia berkata, “Hey, Aoi-san.”

“Hm? Ada apa?”

“Yah … Ini tentang kemarin.”

“… Kemarin?” Nanaka membalas. “Apa terjadi sesuatu kemarin?”

Kai tidak mampu berucap kala Nanaka berhenti berputar-putar dan tersenyum padanya di tengah lorong selama perjalanan menuju ruang klub.

Tidak. Kai tidak bisa? Itu lebih seperti Nanaka tidak membiarkannya. Senyuman di wajah itu berbeda dari semua hal yang pernah Kai lihat dari Nanaka. Senyum itu mengandung pesan, “Aku tidak akan memberitahu apa pun padamu,” yang tertera sangat jelas.

“Ayo,” ajaknya, kemudian berjalan lagi sebelum Kai dapat merespons.

Seketika itu juga, Aya muncul di ujung lorong, lalu mendekati mereka. “Ohhh!” serunya. “Nana-sen, waktu yang tepat!”

“Oh? Ada apa, Ah-chan?”

“Aku tidak akan datang ke klub untuk beberapa saat!” Aya memberitahu dengan berisik. “Baiklah, dah!”

“Huh?”

“Apa?”

Kai dan Nanaka memberikan reaksi yang sama.

“Yaaaaah, aku pulang kemarin dan bam, KEJUTAN BESAR! Kumpulan gacha yang harus kuacak datang di saat yang bersamaan …!! Jadi, jika ada waktu di klub, maka lebih baik aku menggunakannya untuk bekerja! Untuk pekerjaan! Aku sudah bekerja keras di pekerjaan paruh waktuku, tapi sekarang aku harus bekerja lebih giat lagi!”

“T-tapi, kita—klub kita, kita harus memenangkan kompetisi—” Nanaka tergagap.

“Mmm, memang! Itu bahaya! Tapi, kalau aku tidak mengacak sekarang, gacha ini mungkin tidak akan pernah kembali lagi!” Aya berdalih. “Makanya! Makanya gacha waktu terbatas itu sangat penting …!!!”

“Itu … mungkin masalah, tapi…!” Nanaka mencoba membalas.

“Pokoknya, begitulah keadaannya, jadi sampai ketemu lagi!” Aya memungkasi ucapan terakhirnya dengan senyuman dan pergi bagaikan tornado yang menyobek koridor.

“… A-ayo kita pergi ke ruang klub saja untuk sekarang.” Nanaka berkata setelah Aya pergi.

“Y-ya, ayo.”

Mereka pergi ke ruang klub sesuai kemauan mereka, tapi bukan berarti situasi telah berubah. Mengenang kembali aksi Eru kemarin, jika mereka salah bertindak, bukanlah suatu kejutan jika dia tidak datang ke klub untuk beberapa hari.

Kai dan Nanaka mengambil kursi dengan arah yang saling berlawanan dan mendesah.

“… Apa yang harus kita lakukan?” Kalimat itu perlahan keluar dari mulut Nanaka, jadi sudah pasti seperti itulah yang sebenarnya ia rasakan.

“Ayo berjuang,” Kai menyemangati.

Nanaka agak terkejut sebab dia tidak menduga jawaban mendadak itu.

Bila duduk mendesah akan membuat kemajuan dalam rencana mereka untuk kompetisi, maka Kai akan dengan senang hati melakukannya. Namun, itu tentu tidak mungkin. Orang harus berjalan untuk sampai ke tujuan dan hanya dengan begitu pemandangan di sekitarnya berubah.

Selain itu, Kai tahu bahwa hal semacam ini terjadi dalam game sosial. Terkadang, sebuah bug akan muncul dan programmer yang bertanggung jawab atas kode tersebut tiba-tiba terkena flu, menyebabkan orang-orang jadi gila sambil terus-menerus mencoba menghubunginya. Di lain waktu, seorang ilustrator akan kehilangan inspirasi tepat sebelum perilisan sebuah event dan tidak memiliki ide untuk mengubah apa pun. Terkadang, seorang perencana dengan mondar-mandir mencoba memikirkan perincian dan tidak ada yang dapat dimulai. Entah bagaimana situasinya, seseorang harus melakukan apa saja yang dia bisa.

“Kemarin, kita sudah memutuskan apa yang harus diubah, benar?” kata Kai.

“Y-ya,” Nanaka sepakat. “Peningkatan Fungsi, ‘kan? Spesifiknya, UI dan leading line.”

“Tapi, kita belum memutuskan cara mengubahnya. Jadi, mulai hari ini—”

“Oh, tunggu!” Nanaka menjulurkan tangan untuk menghentikan ucapan Kai dan melanjutkan kalimatnya. “Kita akan membuat dokumen perincian. Ya, ‘kan?”

“Y-ya,” Kai membenarkan dengan terkejut. “Itu benar.”

Seringai lebar menghias wajah Nanaka saat mendengar jawabannya benar. “Itu berarti, walaupun Ah-chan dan Eru tidak ada di sini, kita masih bisa tetap bekerja!”

“Tepat sekali.”

Saat ada kaitannya dengan pengelolaan game sosial, hal paling utama dari pekerjaan seorang perencana adalah dokumen perincian. Ada banyak orang yang berpikir tugas seorang perencana adalah memikirkan usulan mengenai “game macam apa yang harus dibuat”, namun kenyataannya sedikit berbeda. Gagasan tentang seorang perencana yang merancang ide game baru dari awal juga tersebar meski tidak biasa dalam praktek.

Terutama dalam bidang game sosial, di mana tujuan dasarnya adalah untuk terus mengelola suatu game selama periode tertentu, tugas seorang perencana kerap berkisar di kemampuan menajemen sebagai kebalikan dari kemampuan pengembangan. Ini berarti bahwa menulis proposal dan dokumen perincian yang menjelaskan event dalam game dan pembaruan fitur merupakan kewajiban utama seorang perencana.

Biasanya, langkah yang dibutuhkan dalam sebuah proses yaitu menjelaskan event atau pembaruan fitur pada pengelola tertinggi: “Inilah tampilan event kita selanjutnya,” atau “Inilah fitur-fitur yang akan kita ubah”. Apabila mereka mempersilakan, selanjutnya perencana boleh menemui tim pemrograman dan grafis untuk menjelaskan inti rencananya. Alhasil, setelah semua selesai, perencana mulai menulis dokumen perincian formal.

Jadi, kenyataannya adalah, Kai ingin Aya dan Eru datang ke klub sekarang juga. Ada peluang seorang programmer akan memperhatikan proposal perencana dan berkata, “Tidak mungkin, ini mustahil.” Ilustrator juga bisa saja memberikan penolakan yang sama. Proposal perencana dapat menyebabkan komposisi layar yang aneh, atau ide mereka mungkin terlalu sulit untuk disesuaikan dengan grafis suatu game.

Demi menghindari risiko itu, Kai ingin semua orang bekerja sama ketika proposal awal telah siap, sehingga mereka dapat mengetahui apa yang ada dalam dunia kemungkinan dan berbagi poin kesulitan atau berwaspada sebelum maju ke depan.

Namun, tidak ada yang dapat mereka lakukan sekarang. Karena Aya dan Eru tidak di sini, yang akan terjadi kemungkinan Kai dan Nanaka akan membuat dokumen perincian dalam skenario terbaik dan kemudian menyelesaikan apa pun yang mereka bisa setelahnya.

“Apa kau sudah pernah membuat dokumen perincian?” Kai berspekulasi.

“Tidak … tidak juga,” Nanaka menjawab malu dan meraih tas yang sedang duduk di kursi di sampingnya. Dia mengambil lima buku, lalu membariskannya di meja. Semua itu ada hubungannya dengan pengembangan game dan peran spesifik seorang perencana dalam pembuatan game. Bagian atas dari setiap buku ditempeli label sehingga Kai mengetahui buku apa saja yang sedang dibaca gadis itu.

“Shiraseki-kun, kau mengajarkan banyak hal padaku kemarin. Dan aku jadi berpikir, ‘Masih banyak yang tidak aku tahu.’ Aku tidak tahu apa-apa …. Diajari itu bagus juga, tapi aku sadar kalau aku harus belajar sendiri terlebih dahulu.”

“… Huh?” celetuk Kai. “Maksudmu alasan kau pergi ke toko buku kemarin ….”

“Yup, untuk membeli semua ini. Aku membacanya tadi malam, dan tanpa kutahu ternyata sudah pagi, jadi kantung mataku tebal sekali. Ini agak memalukan … ahaha.”

Kai tidak dapat mengalihkan mata dari Nanaka dan wajah tawa tersipunya. Kau tidak menyukainya, ‘kan? Dalam pikirannya, ucapan Eru yang dilontarkan padanya kembali terngiang. Dia tidak tahu bagaimana menjawab pertanyaan itu saat lalu. Namun, andai dia diberikan pertanyaan yang sama lagi saat ini, dia sudah mendapat jawaban. Memang sulit untuk tidak menyukai seseorang yang telah mengerahkan segalanya seperti Nanaka.

“Oh, dan juga! Aku membaca banyak hal, jadi ada beberapa bagian yang tidak aku mengerti,” katanya tergesa-gesa. “Semua bagian yang tidak kupahami aku tandai dengan label. Kalau kau mau membantuku, aku akan sangat senang.”

“Selama aku tahu jawabannya, tanyakan saja.” Tanggapan Kai sangat cepat.

Nanaka tertegun dengan betapa antuasiasnya dia. “Y-ya, terima kasih …. Shiraseki-kun, kau baik-baik saja? Kau kelihatannya semangat sekali saat ini.”

“Aku hanya …. Aku sadar kalau aku ingin mengerahkan segalanya juga,” kata Kai. Setelah mendengar apa yang diperbuat Nanaka,  mana mungkin ia tidak terinspirasi.

Mata gadis itu terbelalak untuk sesaat, kemudian menyunggingkan senyum. “Aku mengerti! Kalau begitu, ayo lakukan yang terbaik!”

Setelah itu, Kai memprioritaskan untuk menjawab pertanyaan Nanaka mengenai dokumen perincian. Alasannya adalah bahwa beberapa pertanyaannya terkait langsung dengan penulisan dokumen perincian dan dia ingin melenyapkan semua kebingungan sebelum mereka memulai demi menciptakan hasil akhir yang lebih baik.

Satu demi satu, mereka membedah buku dan Kai menjawab pertanyaan sebanyak label yang tertempel di buku. Tetapi, ketika mereka membicarakan buku terakhir, tangan Kai terhenti. Judulnya, Tugas Seorang Perencana. Penulisnya adalah ketua dari Klub Game Sosial SMA Swasta Tsukigase—Kurenai Akane.

“Ini orang yang seperti Dewa bagimu, ‘kan?” Nanaka memastikan. “Menakjubkan sekali, dia bahkan punya bukunya sendiri.”

“… Ya. Alasan aku cukup andal dalam bekerja sebagai perencana adalah karena ket—karena dia,” beber Kai. “Aku pernah menunjukkan data yang kucatat di laptop padamu, tapi Kurenai-san yang memberitahuku untuk melakukan semua itu sejak awal ….”

Sisa rasa yang mengerikan tenggelam hingga ke dadanya setelah tadi hampir menyebut Akane “ketua”, karena dia kini tidak punya hak untuk memanggilnya dengan gelar itu. Gadis itu menghabiskan lebih banyak waktu berharga bersamanya dibandingkan siapa pun, tapi Kai tidak sanggup membalas semua kebaikan itu. Yang dapat ia lakukan hanyalah menjelekkan nama baiknya, lalu melarikan diri.

Oh, ini buruk . Tepat setelah dia memikirkan kalimat tersebut, semuanya sudah terlambat; perasaan buruk itu. Kai mencoba menegarkan hati, namun rasa dingin itu terlalu menusuk. Paling tidak, dia mencoba menyembunyikan wajahnya.

“Sh-Shiraseki-kun?!” Nanaka berseru cemas.

“Aku … aku … baik-baik saja …” lirihnya.

“Kau pucat sekali! Mana mungkin kau baik-baik saja! A-ada apa?! Apa karena bukunya?!”

“… Tidak, bukan begitu. Aku hanya sedikit sedih …. Jangan khawatir.”

“Jangan khawatir …?”

Kai tahu apa yang ingin diucapkan gadis itu. Dia bercermin saat keadaannya seperti itu dulu. Kala itu dia berpikir, Orang ini akan mati. Wajahnya seputih kematian, kekeringan warna. Dia tahu wajahnya mungkin bernasib sama. Diberitahu, ‘Jangan khawatir’ oleh seseorang yang terlihat seperti dia saat ini tentu tidak masuk akal.

Walaupun begitu, itulah yang harus dilakukan. “Ayo, lanjut,” kata Kai keras kepala.

“T-tidak! Kita lanjutkan saja besok, oke?”

“Besok libur …. Kita harus menyelesaikannya hari ini.”

“Itu benar, tapi—”

“Di antara semua buku yang kaupunya, inilah yang harus sering kaubaca.” Selagi berbicara, Kai perlahan kembali tenang. Dia mengambil napas dalam dan mengaturnya agar terkendali.Baiklah, dia menegaskan diri, aku baik-baik saja. Dengan keras, ia berkata, “Jadi, ayo kita coba.” mengabaikan tatapan risau dari wajah Nanaka, pemuda itu menjulurkan tangan untuk membalik sampul buku tersebut. Dan selama dia menjelaskan semua rincian dari buku yang telah ia baca berkali-kali, waktu pun berlalu dalam sekejap mata.


Tinggalkan komentar