Our Crappy Social Game Club is Gonna Make The Most Epic Game Vol 1 Chapter 6

Surat

“… Aku benar-benar minta maaaf atas kelakuanku.”

“…”

“Setelah setengah tahun diburu editor hari demi hari, aku akhirnya menyelesaikan naskahku.” Misako dengan pasrah menjelaskan, “Dan aku sangat gembira.”

“…”

“Aku ingin membagikan kegembiraan itu dengan adikku tersayang agar dia juga merasakan kebahagiaan yang kurasakan,” lanjutnya, “lalu, dengan alkohol yang mengalir di tubuhku, aku ingin menyambutmu dengan memakai celemek dan sedikit telanjang supaya aku bisa menggodamu …. Hanya itu yang ada dalam pikiranku.”

“… Niat aslimu ketahuan di bagian terakhir itu,” Kai mengomeli.

“Um, Shiraseki-kun, kurasa ini sudah cukup …,” ucap Nanaka. Pada akhirnya, tatapan prihatin justru ia layangkan pada sang kakak yang dipaksa berlutut di lantai dan merenungkan tindakannya.

Sulit diketahui dari wajahnya apakah Misako benar-benar menyesal atau tidak meski ia sedang gemetar di lantai. Ternyata, kakinya sedang merasa keram. Waktu Misako meloncat keluar dari rumah, Nanaka langsung tertegun; lagi pula, seorang wanita telanjang memakai apron tiba-tiba muncul dari apartemen teman sekelas. Alhasil, Misako merampas kesempatan untuk membanjiri Nanaka dengan pertanyaan beruntun: nama, tanggal lahir, tinggi, berat badan, zodiak, hobi, makanan favorit, lagu favorit, dan bahkan tiga ukurannya, juga warna pakaian dalamnya, sebelum Kai akhirnya menampar kepala sang kakak.

Setelah itu, Kai membuat Misako berlutut di koridor. Wajar saja kalau kakinya jadi keram saat ini “… Baik,” kata Kai malas. “Kau boleh bergerak sekarang, nee-san.”

“Pfwaahhh! Kakiku!” keluh Misako, meregangkan tungkainya ke segala arah saat tangannya mulai memukul-mukul lantai. “Terima kasih, Nanaka-chan,” ujarnya kemudian, “kau penyelamatku. Kalau aku masih harus berlutut lebih lama lagi, aku bakal bergerak seperti ikan yang kekeringan sekarang!”

“Kau memang sudah seperti itu,” sembur Kai.

“A-ahaha ….” Nanaka tertawa hambar, sebelum mencoba mengganti topik. “Um, Misako-san, kau kakak Shiraseki-kun …, bukan?”

“Tepat sekali! Dan mulai hari ini, biarkan aku menjadi kakakmu juga! Jadi, ayolah, ‘Misako-san’ itu kedengarannya seperti aku ini orang asing. Panggil aku onee-chan dan—”

“Kau memang orang asing,” Kai berkata terang-terangan. “Memang menyakitkan  untuk kuakui, tapi nee-san ini kakakku. Syukurlah, Aoi-san, dia bukan kakakmu.”

“Kau dengar itu?” Misako merungut, “dia kejam sekali. Tapi dengar ya, Nanaka-chan; jangan salah paham. Adikku ini pemalu, lihat, dan kebanyakan ucapannya hanya untuk menutupi rasa malunya. Jadi, tolong lihat mata bundar, imut, dan suci itu, lalu terawangi agar kau bisa melihat perasaannya yang sesungguhnya!”

“Semua dan segala hal yang dikatakan nee-san cuma omong kosong, jadi kau harus melupakannya.” Kai memberi saran pada Nanaka.

“Kai.”

“Apa?”

“Sudah kubilang,” Misako berucap secara dramatis. “Kalau kau memperlakukan kakakmu terlalu buruk … aku bakal menangis, tahu?”

Kailah yang justru ingin menangis.

“Tapi, aku masih terkejut,” Nanaka menyela, “gadis cantik keluar begitu saja dari rumahmu dengan memakai … um, pakaian yang luar biasa.”

“Sepertinya kesan pertamamu tepat sasaran,” Misako menimpali.

“Kalau yang kau incar itu rongsokan kereta,” sambung Kai.

“Astaga,” kesah Misako, “Aku juga terkejut …. Dalam sekejap, adikku sudah menjadi karnivora yang berani membawa seorang gadis ke rumahnya di hari kedua setelah dia pindah sekolah …. Kurasa anak muda memang akan tumbuh menjadi seorang pria jika kau tidak mengawasinya selama tiga hari!”

“Bukan begitu,” jawab Kai singkat.

“… Apa aku juga dalam bahaya?” dia lalu penasaran.

“Tidak akan mungkin.”

“Wah! Jawaban yang menghina seperti itu sangat menyakiti perasaan kakakmu, tahu tidak?” Misako bertanya sambil merajuk.

Perasaan Misako bisa saja lebih sakit lagi, batin Kai. Kepalanya pening hingga rasanya mau terbelah dua … secara emosional, tentunya.

“…Pfft.” Tiba-tiba, datang suara tawa dari Nanaka, yang sudah tak mampu menahannya lagi. “Maafkan aku. Shiraseki-kun, aku tidak tahu kau bisa bicara seperti ini,” dia mencoba menjelaskan. “Itu sedikit lucu …. pfft.” Tampaknya Nanaka memang tidak mampu menahan diri dan dia terus tergelak dengan riang.

Tak seorang pun yang senang saat ditertawakan, tapi melihatnya tersenyum sembari berusaha membendung tawa halusnya membuat Kai merasa ingin tertawa bersamanya.

“Nanaka-chan, bolehkah aku menanyakan satu hal?” ucap Misako, ekspresinya kini serius sampai-sampaiterlihat seperti orang yang berbeda. “Aku tahu betul Kai itu bukan orang yang mudah mendapatkan pacar tepat setelah pindah sekolah. Jadi …, apa hubungan di antara kalian berdua?”

“Um, yah, Shiraseki-kun dan aku teman satu kelas, dan, um—”

“… Aku masuk klub yang sama dengannya, itu saja,” sambung Kai.

“Hm? Klub?” Misako membeo. “Klub apa?”

“… Klub game sosial,” dia mengaku acuh tak acuh. “Aku mengikutinya.”

Misako membeku sesaat untuk mencerna pernyataan itu dan kemudian meloncat hebat. Akan tetapi, kakinya masih terasa keram dan ototnya yang gemetar membuat penampilannya mirip rusa yang baru lahir saat dia tiba-tiba menabrak Kai dan menimpanya.

“A-apa yang kau—” kata Kai, yang tidak menduga sang kakak akan menumpuk semua beban tubuhnya pada pemuda itu dan nyaris saja membuat mereka terjatuh.

“… Begitu ya, begitu ya,” ujarnya, mengabaikan pertanyaan si adik.

“H-hey, nee-san!” Kai mencoba melepasnya secara paksa, tetapi Misako sama sekali tidak berniat menjauh. Sebaliknya, gadis itu memeluk erat dengan kedua tangan. Alhasil, wajahnya terbenam di dada Kai, yang memberikan kelembutan dan kehangatan. Dia mendekap si adik cukup erat hingga bisa mendengar detak jantungnya, sementara Nanaka memandangi, dan Kai tak bisa apa-apa, kecuali merasa malu.

Misako tampak tidak peduli sedikit pun dan setelah mempertahankan posisi itu beberapa saat, dia secara mendadak dan tanpa canggung melepaskan Kai. “Tunggu di sini, ya,” pintanya, beranjak menuju bagian paling belakang ruang keluarga. Dia mulai memindai tasnya, yang dari tadi bertengger di dinding dan saat menemukan apa yang dicari, dia kembali menemui Kai. Di tangannya terdapat selembar amplop manila.

“Apa?” tanya Kai setelah menerima amplop tersebut. Lalu, dia menemukan bahwa itu ditujukan pada ‘Tuan Shiraseki Kai’. Stempelnya dari Tokyo. Spontan, Kai merasakan firasat buruk. ‘Ketua Klub Game Sosial SMA Swasta Tsukigase, Kurenai Akane,’ adalah kalimat yang ia lihat saat membalik amplopnya untuk memeriksa nama si pengirim. Dia pernah melihat tulisan tangan itu berkali-kali. Setiap kali dia menyerahkan sesuatu pada Akane untuk diperiksa, dokumennya pasti kembali dengan dipenuhi koreksi bertinta merah dalam bentuk tulisan tangan ini. Mustahil dia tidak mengenalinya.

“… Apa ini?” tanya Kai lagi.

“Surat ini tiba beberapa waktu lalu,” papar Misako, “tapi …, aku tidak tahu kau mau melihatnya atau tidak. Aku sudah menyimpannya selama ini.”

“Apa itu dari … temanmu di Tokyo?” tanya Nanaka, dengan ragu masuk dalam percakapan dan secara hati-hati menyampaikan rasa penasarannya. Untuk sepucuk surat dari teman, reaksi Kai terlihat hampa, wajahnya tegang, dan aura yang mengelilinginya entah mengapa terasa berat. Kai tahu bahwa dibalik semua ini, gadis itu tidak dapat memikirkan penjelasan lain, dan berusaha keras untuk meminta keterangan.

“Tidak, um … orang ini ….” Kai menunjukkan nama pengirim pada Nanaka. “Dia adalah ketua dari klub game sosial di Tsukigase, sekolah lamaku …. Bagiku, dia seperti dewa.”

“Dewa?” beo Nanaka, jelas terkejut.

Mungkin itu terlalu berlebihan, pikir Kai. Namun, memang betapa jauh, cerah, dan tak terlupakan seorang Akane baginya, bahkan hingga sekarang.

“Waktu aku masih di Tsukigase.” Dia mulai bercerita, “semua yang aku pelajari adalah tentang bagaimana seharusnya seorang perencana bekerja, aku mempelajari itu darinya.”

“Wow ….” Nanaka takjub. “Dia pasti sangat luar biasa!”

“… Ya,” Kai mengiyakan. Walaupun dia tahu bahwa Nanaka perhatian dengan memperlihatkan tanggapan yang ceria, pemuda itu hanya bisa membalas dengan jawaban singkat dan tatapannya otomatis jatuh ke surat yang ia genggam. Beban benda itu bersetumpu di tangannya dan rasanya berat sekali—lebih berat dari amplop mana pun.

“Hey, Kai! Bagaimana bisa kau sedingin itu pada seorang gadis cantik?!” Misako mengomeli, “kau akan menyesal 10 tahun kemudian, aku yakin!”

“Nee-san,” ucap kai, “itu pengalamanmu saja.”

“Kai, kau terlalu memikirkannya.” Sang kakak memberi ceramah. “Itu mungkin bahkan bukan hal yang harus kau khawatirkan. Itu barangkali cuma ucapan ‘Apa kabar’, atau surat musiman. Jika itu aku, suratnya pasti akan diawali dengan kalimat semacam itu dan kemudian menjadi tuntutan kejam supaya aku menyelesaikan naskah … tapi, bukan itu masalahmu. Aku belum melihat isinya …. Kau bisa membukanya lain kali saat kau ingin membacanya. Sekarang! Lupakan saja dulu itu, ya ‘kan, Nanaka-chan?!”

“H-huh?!”

Misako menyelesaikan ceramahnya dengan tiba-tiba memeluk Nanaka.

“Masih ada banyak hal yang ingin kutanyakan padamu!” dia menjerit girang. “Ayo, kemari! Akan kusajikan kue dan teh hitam untukmu!”

“Kita tidak punya,” balas Kai, yang langsung sadar bahwa Misako sengaja bertingkah lincah untuk menghiburnya, sama seperti yang dilakukan Nanaka. Misako mengarang ini dan itu tentang teh hitam, tapi yang dia bawa keluar justru sebotol sake. Sepertinya dia berencana menikmati percakapannya dengan Nanaka sambil ditemani alkohol.

Kai tidak berniat untuk membiarkan Nanaka terseret lebih jauh dalam alur yang dibuat Misako. Dia berusaha melepaskan kakaknya yang suka menempel itu dan berhasil meloloskan Nanaka untuk melarikan diri. Begitu mereka keluar dari rumah, rupanya malam sudah lebih pekat dari sebelumnya. Area sekitar benar-benar dilingkupi oleh kegelapan malam.

“Shiraseki-kun!” Nanaka berhenti di bawah lampu jalan rumahnya, lalu berbalik. “Sampai jumpa!”

“Y-ya. Sampai … jumpa.”

“Yup!”

Sebelum Kai sempat bertanya apakah ia harus mengantar, Nanaka dengan semangat melambaikan tangan dalam isyarat “sampai jumpa!” dan kemudian berlari. Ketika gadis itu tak terlihat lagi, Kai merekahkan telapak tangannya, yang tadinya juga melambai ke arah Nanaka. Kapan terakhir kali aku melambaikan ucapan “sampai jumpa” pada orang lain? Kai penasaran. Dia merasakan sensasi hangat dan lembut—agak berbeda dari perasaan malu—melekat di telapak tangan kanannya.

Ketika Kai kembali ke dalam, dia disambut oleh mimpi buruk yang nyata, di mana Misako minum-minum langsung dari botol dan meratapi kepergian Nanaka. Kai menjelaskan pada kakaknya bahwa Nanaka punya banyak teman dan bahwa dia orang yang sangat berbeda darinya, sedangkan Misako bergala pada adiknya sambil mabuk. Dia dengan gembira menggubris cerita Kai untuk sesaat, namun akhirnya langsung ketiduran. Misako menyukai alkohol, tapi dia juga lemah terhadap minuman itu. Melihat sang kakak terkapar segera setelah melewati ambang pintu, Kai pun berpikir, wanita itu beruntung.

Kai menyeret futon cadangan ke ruang keluarga dan membaringkan Misako di situ sebelum kembali ke kamarnya sendiri, di mana ia duduk di meja belajarnya dan mencoba membuka amplop yang justru membuat tangannya berhenti bergerak.

Dia tahu benar bahwa Akane bukan orang yang akan menulis keluhan dan mengirimnya dalam bentuk surat. Jika dia ingin melakukan itu, maka tak butuh waktu lama baginya untuk datang ke Niigata dan mengutarakannya secara langsung. Meskipun begitu, Kai terlalu takut untuk menghadapi isi surat tersebut sampai-sampai tangannya membatu. Bukannya membuka amplop, dia malah mengingat rasa muak yang timbul di pagi hari setelah melalui mimpi buruk tentang hari saat dia keluar dari Tsukigase.

“… Maafkan aku,” Kai pun berucap.

Pada akhirnya, dia tidak dapat memaksakan diri untuk membaca surat tersebut.

Ketika dia bangun di pagi hari, Misako telah pergi, dan futon yang kini telah kosong sudah dilipat dengan rapi.

Kai sarapan, berangkat ke sekolah, dan menghabiskan waktu dengan cara yang sama seperti kemarin.

Tidak ada murid satu kelas yang berteman dengannya, alhasil, dia cuma duduk di bangkunya seharian. Nanaka berupaya memanggilnya beberapa kali, tetapi selalu diinterupsi oleh seorang teman setiap kali ia mencoba dan mereka berdua akhirnya tak dapat saling berbicara. Dia hanya bermain game sosial, makan siang, kembali ke kelas, dan mengulangi proses itu hingga waktu sekolah berakhir.

Satu-satunya hal yang berubah dari hari kemarin adalah Nanaka menghampirinya sesegera mungkin setelah kelas berakhir. “Shiraseki-kun,” panggilnya, “Ayo!”

“B-baiklah,” Kai mengiyakan.

Tentu saja, mustahil hal yang tidak biasa ini tidak mendapat perhatian. Sekolompok murid yang penasaran mengungkitnya. Mereka semua perempuan dan Kai ingin kabur secepat mungkin, namun tidak bisa karena suatu alasan yang jelas.

“Apa ini? Nana, ada sesuatu di antara kau dan Shiraseki-kun?”

“Tidak ada,” Nanaka memberitahu. “Kami mau ke ruang klub.”

“Klub? Oh! Jadi, Shiraseki-kun masuk di klub yang sama denganmu.”

“… Huh? Tunggu, Nana, klub apa lagi yang kauikuti?”

“Klub game sosial! Aku sudah memberitahumu!”

“Ahh, ya, itu dia.”

“Omong-omong, kami harus ke ruang klub, jadi … Ughhhh…”

“Dah, Nana. Beritahu kami kalau Shiraseki-kun berbuat hal konyol.”

Teman sekelas mereka melambai santai dan pergi seperti angin lewat.

Nanaka juga melambai balik, tapi begitu mereka tidak kelihatan, wajahnya berubah serius dan mulai berpikir berlebihan. “… Menurutmu mereka akan terkejut jika kuberitahu kalau kau menggigit jarimu kemarin?” Dia penasaran, memikirkan permintaan mereka untuk membagikan apa pun mengenai ‘Shiraseki berbuat hal konyol’.

“Um, tolong, jangan,” jawab Kai. Memang benar bahwa menandatangani formulir lamaran klubnya dengan darah dan ujung-ujungnya pingsan karena anemia adalah sebuah cerita lengkap dengan punchline tersendiri. Entah lucu atau tidak lucu, itu jelas kisah yang menggelikan untuk orang lain, kecuali dirinya. Ditambah lagi, tidak ada hal yang dilebih-lebihkan dari kisah tersebut, yang mana hanya membuatnya lebih kerepotan. Dia tahu darah mengalir deras sampai ke kepalanya saat itu, tapi tindakannya kemarin agak melewati batas.

“Aku cuma bercanda,” Nanaka berkata sambil tertawa. “Tidak akan kuberitahu. Lagi pula, itu tidak lucu, kau justru terlihat ker—”

“… Ker?”

Nanaka lantas tergagap, “B-bukan apa-apa,” seakan menarik tuas rem darurat dari pernyataannya barusan dan kemudian menutupi wajahnya dengan malu.

Saat menuju ruang klub, mereka berdua berjumpa dengan dua anggota lainnya, Aya dan Eru, di koridor tepat di hadapan tujuan mereka, dan mereka berempat pun memasuki ruangan bersama-sama.

“… Huh?” Nanaka menelengkan kepala dengan ekspresi bingung saat mencoba membuka pintu.

“Ada apa?” tanya Eru.

“Kupikir … pintunya sudah terbuka,” Nanaka memberitahu dengan gelisah.

“Oof, kau lupa menguncinya kemarin?” Aya bertanya.

“Walaupun tidak … kukira penjaga sekolah yang akan menguncinya,” Nanaka berteori.

Mereka akhirnya tahu mengapa pintunya terbuka begitu memasuki ruangan. “Halo,” sapa gadis yang kemarin berdiri di samping ketua OSIS dan kini berdiri di dalam ruang klub mereka. “Namaku Shizaki, wakil ketua OSIS,” katanya, memperkenalkan diri. “… Sempurna, kalian semua datang.”

Shizaki menjalankan pandangannya dari satu orang ke yang lain, seolah mengonfirmasi kehadiran mereka. “Aku di sini mewakili ketua OSIS yang sedang sibuk. Aku ingin menyampaikan pesan pada kalian,” paparnya.

“Um …, kalau ini soal pembubaran, itu sudah diatasi oleh Shiraseki-kun yang baru masuk, ‘kan?” Nanaka bertanya.

“Ya, kami memang menerima formulir lamaran klubnya. Tidak ada masalah dengan kertas itu ….” Shizaki menjelaskan. “Tetapi, Ketua berkata, ‘pembubaran mereka sudah ditetapkan secara permanen. Tidak ada alasan untuk menarik dan membatalkan keputusan itu.’”

“Astaga, sepertinya dia ingin kita menyerbu kantornya dan mengatakan betapa buruknya candaan itu,” ujar Eru, nada bicaranya yang mirip wanita terhormat keluar dalam aura yang mengancam.

“Dia tidak bercanda,” balas Shizaki, dengan bahu yang lelah. “Justru, ini caranya yang konyol dan murahan untuk melindungi hati tikus kecilnya itu yang dia sebut harga diri.’”

Kai tidak tahu Shizaki memihak siapa. Secara teknis, dia berada di posisi sosial yang lebih rendah dari ketua, tapi kemarin jelas sekali bahwa dia lebih berkuasa.

“Akan tetapi, pernyataan Ketua memang benar,” Shizaki menambahkan. “Ini bisa menjadi keputusan yang bermasalah, begitu suara dipungut dalam rapat OSIS, pembatalan dapat terjadi dengan mudah.”

“Astaga, memangnya kau memihak siapa?” tanya Eru, tampak seperti preman yang menggertak saat  dia memperpendek jarak di antara wajah mereka berdua.

“Aku senang jika kau tidak terlalu gelisah. Aku juga menganggapnya sebagai salah satu rencana konyol dari ketua OSIS …. Jadi, aku hanya memberikan pendapat pribadi.” Shizaki tersenyum sembari mengucapkan hal itu, tetapi ekspresi di wajahnya tentu tidak terlihat ramah. Justru, dia terkesan seperti predator yang melihat mangsanya. “Alasan dibalik pembubaran klub game sosial bukan hanya kurangnya anggota, tapi juga tidak adanya prestasi dari klub ini,” dia mulai menerangkan. “Karena sebagian besar murid di sekolah ini turut andil dalam aktivitas klub, kami tidak memberikan izin pada klub yang tidak memiliki aktivitas substansial, entah berapa banyak anggota yang ada. Akan tetapi, jika ingin membuktikan ketekunan kalian pada kami, aku yakin kesempatan bagi klub ini agar diterima secara resmi akan muncul sendiri.”

“Jadi, apa maksudnya?” Kai bertanya kemudian, mendesaknya untuk memberikan kesimpulan.

Shizaki menoleh dengan senyuman yang masih mengerikan. “Satu bulan lagi, akan diadakan kompetisi rutin antar klub game sosial,” cetusnya, “kalau kalian kalah, klub kalian akan langsung dibubarkan.”

“I-itu terlalu mendadak!” Nanaka menjerit terkejut.

“Untuk klub game sosial, persiapan kompetisi rutin seharusnya dilakukan secara terus-menerus,” tegas Shizaki. “Jika kau tidak mampu menangani tantangan itu, bukankah itu artinya klub kalian tidak mengerjakan aktivitas yang substansial …? Apa kalian setuju?”

Kai akhirnya lumayan memahami gadis itu; ada beberapa orang seperti dia di Tsukigase. Dia mungkin tipe orang yang senang menyaksikan orang lain menjerit dengan memberikan tugas yang mustahil, yang juga menjadi penyebab mengapa dia mengolok-olok Ketua OSIS dalam tiap kesempatan.

Pemandangan dari Nanaka, yang panik tak berkutik, semakin memperlebar senyuman menakutkan Shizaki. “Baiklah kalau begitu,” ucapnya tegas, “semoga berhasil dan aku hanya bisa berharap kalian berjuang dengan keras.” Kalimat terakhir itu dia lontarkan kala meninggalkan ruangan.

“… Apa yang harus kita lakukan?” Nanaka memekik, tanpa sengaja mengumbarkan perasaan paniknya.

“Yah, hanya ada satu yang bisa kita lakukan,” Aya membalas.

“I-itu benar!” kata Nanaka, sedikit bersemangat. “Ayo kita bekerja—”

“Tunggu dulu, sayang.” Eru memotong ucapan Nanaka seolah mencoba mengubah kesimpulan. Kemudian, dia mengambil satu langkah ke depan dan berbalik cepat—dan matanya mulai memandangi Kai. “Jadi.” Nada bicaranya dingin. “Laki-laki ini memang masuk ke klub kita?”

“Ya …. Ada yang salah, Eru?”

“‘Perencana?” Eru bertanya dengan tajam.

“Y-ya, itu benar,” Kai memberitahu, suaranya serak oleh tekanan tatapan Eru.

“… begitu, ya.” Kai berpikir bahwa gadis itu tampak sedikit senang mendengarnya. Tetapi, itu tak bertahan lama dan tatapan marahnya kembali saat ia mengalihkan pandangan intensnya ke Nanaka. “Dan Nanaka sayang,” Eru berkata manis, “apa yang akan kaulakukan?”

“A-aku juga! Akan kulakukan yang terbaik sebagai perencana juga!” Nanaka menjawab terburu-buru. “Aku akan diajari oleh Shiraseki-kun dan—”

Tepat setelah mendengar perkataan itu, wajah Eru menggelap lagi. Itu bukan ekspresi suram yang biasa—wajahnya segelap angkasa dan seakan meramalkan badai petir akan datang. Dia tidak membiarkan Nanaka berkata lagi dengan mengangkat tangan untuk menghentikannya. “… Kalian semua pembohong,” ujarnya datar.

“Huh?” tanggap Kai, yang kini sangat kebingungan.

“Kau!” seru Eru berapi-api, matanya kembali ke Kai. “Di sekolah lamamu, kau memublikasikan kebohongan besar secara online dan diusir jauh-jauh sampai ke sini.”

Ada banyak hal yang harus dipersiapkan oleh Kai dan tuduhan Eru yang tiba-tiba membuatnya bergeming hingga dia seolah-olah terikat secara fisik. Dia tahu tentang insiden di Tsukigase itu, Kai lantas menyadari. Namun, tentu dia tidak bisa menyembunyikan peristiwa itu selamanya; pencarian namanya secara daring sebagai seorang pelaku di balik bocornya informasi Rondo dan mengakibatkan kekacauan, Eru pasti menemukan hal seperti itu.

Reaksi semua orang berbeda-beda terhadap kecaman Eru:

“… Kebohongan besar?” Nanaka mengulang, memiringkan kepala. Dia belum tahu apa-apa dan karena itu, Nanaka tidak cukup memahami maksud dibalik ucapan Eru. Aya malah lebih sulit mencerna akibat sifatnya yang malas pusing, tapi fakta bahwa dia tidak terkejut atau bingung menandakan kalau dia sebenarnya sudah mengetahui masa lalu Kai.

Kai merasa hatinya akan remuk oleh beban dari kalimat “kebohongan besar”. Namun, itulah kebenarannya: dari hasilnya, gacha memang berfungsi sebagai iklan, yang berarti bahwa pernyataan Kai bukanlah apa-apa selain kebohongan. Dan kini, tepat saat ini, ucapannya sudah tak memiliki arti. Dia kehabisan kata untuk membela diri.

“… Seorang pembohong yang belajar dari pembohong …. Astaga, bodoh! Bodoh sekali!” Eru membentak di wajah mereka, lalu melangkah ke arah pintu, hanya untuk berhenti sebelum pergi. “Nanaka, jika itu rencanamu …, aku tidak peduli lagi akan jadi apa klub ini.” Kemudian, setelah mengutarakan penggalannya, Eru menyentak keluar dari ruangan.

“Aww,” kata Aya. “Ya ampun, kita tidak bisa apa-apa.”

“K-kita harus mengejarnya!” ajak Nanaka.

“Dan apa yang mau kaulakukan kalau sudah menyusulnya?” Aya bertanya terus terang. “Kupikir kau cuma memperburuk keadaan bila kau bicara dengannya sekarang.”

“… Maafkan aku,” sesal Kai. “Ini salahku.”

“B-bukan! Ini bukan salahmu, Shiraseki-kun!” Nanaka menjawab, mencoba menenangkannya. “Kau lihat … Eru itu selalu marah padaku sejak lama … aku mencoba berperilaku seperti perencana, walaupun aku tidak tahu apa pun tentang game sosial …. Itu sebabnya Eru marah.”

“Yah, memang benar Nana-sen sedikit keluar jalur,” cakap Aya, sebelum berbalik undur diri. “Oke,” ujarnya, “aku juga mau pulang.”

“Huh?!” Nanaka berteriak. “Ah-chan, kau juga?!”

“Ahh, yah, tahu tidak, ada lebih banyak pekerjaan paruh waktu untukku demi gacha rush pakaian renang musim panas dan aku SUPER sibuk saat ini!” Aya menjelaskan. “Aku ini seperti kaum normie!”

“T-tapi kau dengar apa yang dikatakan gadis itu, bukan?” Nanaka bertanya mendesak.

“Mmm …, tapi aku ini Programmer,” Aya membalas. “Kalau perencana tidak memberikan rencana sekaligus perincian, tidak ada yang bisa kuperbuat. Jadi, meski aku yang terakhir pulang, tidak ada yang harus kukerjakan hari ini. Ditambah,” cetusnya, “prioritasku nomor satu tentu saja gacha! Aight, sampai ketemu besok! Dah!” Aya tidak melemparkan topik atau pertanyaan lagi ketika dia memberikan hormat secara antusias dan meninggalkan ruangan .

Tanpa mereka sadari, tinggal Kai dan Nanaka yang masih mendiami ruang klub.

“… Maaf, Shiraseki-kun,” lirih Nanaka.

“Kupikir kau tidak melakukan apa-apa untuk meminta maaf,” Kai memberitahu. “Lagi pula, aku tahu maksud Oushima-san.”

“Kau … tahu?”

Kai mengangguk. Bukan berarti pernyataan Aya sepenuhnya benar, tetapi dia juga tentu tidaklah salah. “Oushima-san itu orang yang baik,” paparnya.

“… Huh?” Nanaka bertanya, meneleng kebingungan lagi. Sepertinya dia tidak mengerti, namun penalaran Kai sederhana.

“Ada banyak programmer di luar sana yang tidak mau mendengarkanmu walau kau sudah memberikan rencana atau spesifikasi,” terangnya, “hingga mereka merasa kalau kau pantas didengarkan. Tapi, ucapan Oushima-san tadi mengartikan bahwa dia akan mendengarkanmu, selama kau sudah menyelesaikan tugasmu.”

“… Begitu, ya!” Nanaka menimpali, terdengar lega. “Ya, Ah-chan mungkin agak aneh, tapi dia orang yang baik! Jadi, jika kita mengumpulkan rencana yang bagus, dia pasti akan bekerja dengan kita!”

“Itulah yang kuyakini,” Kai setuju.

Jauh lebih sulit semasa Kai masih bersekolah di Tsukigase. Ada orang-orang tak bisa diurus yang membenci keberaniannya, semata-mata karena Akane—alias sang ketua klub—menyukainya. Waktu ia mencoba berbicara dengan orang-orang itu, mereka justru bersikap dingin.

Mereka menilai semuanya mulai dari pilihan font sampai angka singular jika Kai menyeret mereka ke dalam rapat dan mengabaikannya bila segalanya tidak sesuai dengan standar mereka.

Sejauh yang dia tahu, Aya bukanlah salah satu dari orang-orang itu. “Jadi, pertama …, ayo kita berjuang sebagai perencana,” tandasnya.

Seperti yang dikatakan Aya, programmer dan ilustrator tidak bisa melakukan apa-apa hingga ada rencana. Mengajak Eru dan Aya kembali ke ruang klub sangatlah penting, tetapi jika tidak ada yang harus mereka kerjakan begitu kembali, maka semua tidak ada gunanya.

Jadi pertama-tama, Kai dan Nanaka—dua perencana-—mesti berjuang keras. Di atas semua itu, apabila Eru memang marah pada Nanaka karena ketidakmampuannya memerankan seorang perencana, maka yang lebih penting adalah melakukan tugas mereka sebelum berusaha memanggilnya untuk kembali.

“Baiklah!” Nanaka berseru, menepuk pipi agar suasana hatinya bangkit. “Ayo berjuang, Shiraseki-kun!” Kai merespons dengan anggukan mantap.


Tinggalkan komentar