Our Crappy Social Game Club is Gonna Make the Most Epic Game Vol 1 Chapter 5

Jangan Macam-Macam Denganku

“Anak muda, kau ini bodoh, ya?” Haimura mendesah ketika Kai menyerahkan formulir lamaran dengan ‘klub pulang ke rumah’ tertulis di kertasnya.

“Tidak boleh?” tanya Kai pasrah.

“Tentu saja tidak boleh,” hardik pak guru. “Kau dengar yang kukatakan kemarin?”

“‘Kau harus mengikuti sebuah klub di sekolah ini,’” Kai mengutip.

“Jadi kau mengerti rupanya.”

“… Apa pun itu?”

“Memang ada beberapa pengecualian, tapi aku belum mendengar apa-apa dari keluargamu. Kau harus mengikuti satu klub.”

Kai menghela napas berat.

“Kau terlalu muda untuk mendesah seperti itu! Ayo, pergilah periksa beberapa klub,” suruh Haimura.

Kai membungkuk sekali sebelum pamit dari ruang guru. Tatapannya otomatis mendarat ke lantai. Dia tanpa sadar mendesah lagi dan dengan lembam berjalan menyusuri koridor. Kini, apa yang akan ia perbuat? Tidak ada klub yang menarik minatnya. Tidak satu pun, saat mengunjunginya kemarin. Ditambah, setelah berkeliling satu kali, sulit sekali baginya untuk meminta lagi.
Selagi berjalan dengan kepala tertunduk, tiba-tiba suara datang entah dari mana.

“Oh!”

Dia tahu ada orang lain di koridor, namun tidak ingin memeriksa siapa orang itu. Ada dua gadis yang berdiri di sana. Satu berambut pirang dan yang satunya lagi berambut hitam, pasangan itu tampak sangat familiar. Mereka berdua dari klub game sosial yang kemarin.

“Ternyata kau, senpai.” Aya dengan malas melambaikan tangan, lalu menghampiri Kai.

“Siapa dia?” ucap yang lain.

“Apa maksudmu … Oh, ya,” Aya berkomentar hambar. “Kau mencapai klimaks kemarin tanpa kau sadari.”

“Jangan sebut ‘klimaks’! Itu keagungan jiwa suciku yang memuncak!”
Secara pribadi, Kai mengakui bahwa dia tidak tahu perbedaan antara mencapai klimaks dengan memuncak.

“Ini Shiraseki … uhhhh …”

“… Kai,” Kai menyelesaikan.

“Ahh, yup, itu dia,” ujar Aya. “Ini Shiraseki Kai-paisen. Nana-sen mengajaknya ke klub kita kemarin.”

Mengabaikan pengenalan Aya, gadis itu justru menatap Kai seperti sedang memandang seorang tersangka. Poninya yang panjang benar-benar menutupi mata kirinya, namun pandangan dari mata kanan yang terekspos terkesan cukup tajam hingga dapat menusuk. “… Kuroba Eru.” Dia bergumam seolah sedang bicara sendiri, jadi butuh waktu bagi Kai untuk memahami bahwa dia ternyata memberitahu namanya.

“… Oh, uh, aku Shiraseki Kai,” tuturnya, berusaha memperkenalkan diri.

“Aku sudah mendengarnya dari si bodoh itu.”

“A-ah, betul juga. Maaf.”

Mungkin gadis itu tak tertarik dengan Kai sebab dia mengalihkan pandangannya ke pintu di depan mereka. Papan nama di atas bertuliskan “OSIS.”

“Omong-omong, senpai, kudengar kau sudah menolak Nana-sen,” kata Aya.

“… Huh?!”

Ekspresi bagai es di wajah Eru meledak saat mendengar pernyataan Aya. Dia menyambangi Kai seakan hendak mencekiknya kapan saja. “Kau!” desisnya. “Apa maksudnya ini?!”

“A-apa?!” timpal Kai, mencoba membela diri. “Aku cuma memberitahunya kalau aku tidak mau masuk klub!”

“Ahh, kalau begitu, kami bertiga sudah ditolak, ya?”

“Tidak, bukan itu yang ingin kukatakan!”

“Lalu, kenapa kau tidak ikut? Nana-sen dalam masalah besar, jadi bisakah kau setidaknya menulis namamu sebagai anggota tak terlihat?”

“… Dalam masalah?”

Seketika itu juga, pintu di hadapan mereka terbuka dan Nanaka muncul sepucat hantu. Dia menggerutu, “Permisi,” dengan tenaga seekor nyamuk, kemudian menutup pintu.

“Ya ampun, Nana-sen, wajahmu mengerikan sekali.”

“… Mereka bilang tidak.” Nanaka hanya bisa berbisik

“Tidak tentang apa?” tanya Kai, melompat dalam percakapan tanpa pikir panjang.

Tetapi, Nanaka terlalu lesu hingga tidak menyadari bahwa Kai yang bertanya. “… Mereka membubarkan kita.” Kalimatnya beriak mengisi koridor bagaikan percikan air yang tumpah dan semua orang tersentak untuk sesaat.

“A-ayolah, Nana-sen,” Aya mengejek, “Lelucon itu tidak cocok sekali denganmu sampai-sampai kami lupa tertawa.”

“… Aku tidak bercanda,” balas Nanaka, membuka mulut lagi untuk menenkankan kata-katanya. Saat itu, setetes air mata keluar dari mata kirinya dan mengalir hingga ke dagu. Matahari terbenam bersinar melewati jendela kala air mata itu melelehi rahangnya dan terjun ke lantai hingga berderai menjadi percikan.

“Astaga, aku akan senang kalau kau tidak main-main,” Eru dengan santai menyemburkan kalimat tersebut seraya mendorong bahu Nanaka untuk menyingkir dari jalannya. Dia tampaknya berniat memasuki ruangan. Nanaka kembali tersadar dan menyeka sudut matanya sebelum menarik Eru.

“Kenapa kau menghentikanku?!” Eru menuntut.

“Eru, kau mau mengamuk lagi!” protes Nanaka.

Lagi, Kai membatin, berarti dia sudah pernah mengamuk sebelumnya.

Eru mencang-mencong bak kuda jantan, mencoba menyingkirkan Nanaka. Dia pasti lebih kuat dari penampilannya karena Nanaka kehilangan tumpuan dan Kai tanpa sengaja bergerak untuk membantunya agar tidak jatuh.

“Terima kasih …” Nanaka bergumam dan kemudian tertegun oleh realitas. “Tunggu, apa? Shiraseki-kun?”

“Oh, uh, ini cuma kebetulan … um, begitulah.” Ini bukanlah apa-apa selain kebetulan.

“Jadilah baik dan lepaskan aku!” Eru menuntut lagi.

“Kau tahu kami tidak bisa melakukan itu!” Nanaka berteriak balik kepadanya.

Pintu tiba-tiba terbuka seperti disambar petir. “Hey! Kalian orang-orang bodoh terlalu berisik!” Seorang murid laki-laki berdiri di hadapan mereka. Rambutnya keriting berwarna pirang dan diminyaki. Dia tampak sempurna, kata orang-orang, dan dia juga terlihat seperti seorang pangeran dari novel fantasi jika mulutnya tertutup. Namun, aura harga dirinya terlalu besar sampai hampir menelan seluruh kesan awal tersebut dan masih ada bagian yang sederhana.

Di belakangnya, berdiri seorang wanita yang mengimpresikan dirinya seperti seorang sekretaris. Dia punya rambut panjang dan selera fashion yang bagus. Tidak seperti si laki-laki, dia tetap diam dan mengamati situasi dengan mata yang teliti. Kesan pertama Kai saat melihatnya, gadis itu mirip seorang guru privat yang mengawasi sang pangeran.

“Oh, kau masih di sini?” tanya si pemuda cantik, memandang Nanaka dan berbicara padanya dengan jijik

“Oh, kau masih di sini?” tanya si pemuda cantik, memandang Nanaka dan berbicara padanya dengan jijik.

“Rupanya kau mengajak semuanya ke sini, dan untuk apa? Main-main? Pergilah, cepat, kembali ke ruang klub kalian dan bersihkan tempat itu. Ruang klub yang digunakan oleh orang-orang tolol seperti kalian pasti kotor dan kacau.”

“I-itu tidak! … Tidak, benar.” Nanaka mulai berkata dengan sekuat tenaga, namun suaranya mereda ketika memandang Aya. Kai merenungkan kondisi ruang klub yang ia kunjungi kemarin dan tidak dapat menyalahkan Nanaka atas hal itu.

“Kau bahkan ragu-ragu,” ejek laki-laki itu. “Makanya aku tidak mau bicara dengan pelawak. Kalian cuma penghuni liar di ruangan itu dari dulu. Cepatlah pergi!”

“Itu ruangan klub game sosial!” Nanaka menentang lagi.

“Berapa kali harus kuulangi supaya kau mengerti? Klub game sosial tidak pernah dianggap sebagai klub. Sebuah klub harus memiliki minimal empat anggota yang tidak mengikuti klub lain. Berapa yang kau punya? Memangnya kau tidak bisa menghitung?”

“Yah, kami ….”

“Kalau begitu, itu bukan ruang klubmu,” kata pemuda itu datar. “Kalian hanya sekumpulan orang sinting yang tidak mengikuti klub apa pun. Seperti kewajiban bagi masyarakat negara kita untuk bekerja, seorang murid juga berkewajiban untuk mengikuti sebuah klub.”

Kai akhirnya memahami apa yang terjadi. Dia tidak tahu siapa pemuda sombong itu, namun jelas orang itu mengatakan bahwa klub game sosial tidak punya cukup anggota. Karena kurangnya anggota, maka mereka bukanlah klub resmi. Pembubaran pun ditetapkan. Kai mengaitkannya dengan pernyataan Nanaka tadi.

“Aku ingin kau tahu kalau kau harusnya tutup mulut!” Eru berkata mengancam.

“E-Eru! Hentikan!” Nanaka hampir tidak bisa menghentikan Eru, yang mencoba mencengkeram kerah baju pemuda tersebut.

“Aah!” Laki-laki itu tersentak mundur, gemetar menyedihkan. Dia tampak sangat lega tangan Eru tidak dapat meraihnya. Dia mereset ekspresinya dan sekali lagi melangkah maju dengan angkuh. “Apa yang bisa kuperbuat dengan keganasan kalian? Aku tahu kalian menyebut diri sebagai ‘klub’ game sosial, tapi memangnya kegiatan macam apa yang berguna dari klub seperti itu? Game itu sejak awal dibuat hanya untuk main-main dan game sosial bahkan lebih tidak berguna. Itu jelas cuma buang-buang waktu. Bukankah itu yang disebut sampah?” omelnya. “Semuanya cuma mengincar uang dengan gacha, jadi mereka merias diri dalam tempat sampah yang mewah. Yah, lagi pula, orang-orang seperti kalianlah yang membuatnya. Sampah tentunya menghasilkan sampah. Sampah harusnya dibuang pada tempatnya, jadi kalian bisa mengerjakan sesuatu yang lebih produktif dalam kehidupan.”

Aya hampir tidak mendengarkan, namun ucapan terakhir pemuda itu membangkitkan sesuatu dalam dirinya. Mata Nanaka terbuka lebar karena terkejut dan Eru jelas menampilkan air muka yang lebih geram dari sebelumnya.
Kai juga tidak berbeda.

“Kau—” Aya memulai, namun tanpa ia sadari, emosi Kai tiba-tiba meluap dari mulutnya dan memotong kalimat gadis itu.

“Jangan macam-macam denganku!” Dunia di sekelilingnya bergerak secara lambat dan kakinya melangkah sendiri hingga jarak antara dua pemuda yang ada berkurang.

“—Dengar, Shiraseki. Jangan lupa melihat mata orang-orang. Memang bagus memiliki bahan untuk dikatakan. Namun, saat berbicara dengan seseorang, berbicaralah dengan melihat mata mereka. Niat terletak di mata, emosi tumbuh di sana, dan itu akan menjiwai perkataanmu. Terkadang, seorang perencana harus bertentangan dengan yang lain. Ketika waktunya tiba, kalimat yang kauucapkan sambil terus melakukan kontak mata akan mengalirkan emosimu pada mereka. Begitu, dan terkadang juga berguna saat kau ingin membuat orang lain kewalahan. Karena itu, lebih baik hindari situasi di mana kau harus menjatuhkan orang lain.” —Nasihat Akane melintas di benak Kai saat ia memandang tajam mata pemuda tampan tersebut.

Laki-laki itu kembali mundur karena panik. “S-siapa kau?! Aku belum pernah melihatmu! … Yup! Tidak pernah! Aku tahu nama dan wajah semua murid di sekolah ini! Itu tanggung jawabku sebagai seorang ketua OSIS! Tapi, aku tidak mengenalmu. Apa ini trik murahan, mengingat aku ini, Ryuugamine Takeru, adalah ketua OSIS ?!” Rupanya, pemuda tersebut adalah ketua OSIS.

Gadis di belakangnya melangkah lebih dekat. “Ketua,” ujarnya. “Dia murid pindahan yang kuinformasikan padamu kemarin. Aku informasikan lagi hari ini, jadi bahkan untuk orang berotak burung sepertimu tidak akan lupa, tapi ternyata kau malah lupa.”

“A-aku tidak lupa, Shizaki-kun! Tentu saja, dia murid pindahan! Namanya Sekkai Seki-kun, ya ‘kan?” Kesalahan nama yang sembarangan menyindir murid pindahan itu seolah terbuat dari batu kapur.

“Shiraseki Kai, Baginda Unggas,” sang sekretaris membenarkan dengan tajam.

“Baginda Unggas?! Maksudmu, raja unggas ?!” Ketua OSIS memprotes dengan keras. “Aku ini ketua para murid, bukan ketua sekumpulan ayam, oke?!”

“Dia dari SMA Tsukigase,” lanjut sekretaris, “yang terkenal dengan program klub game sosialnya.”

“… Oho. Ya, ya. Burung-burung sudah berkumpul, ya.” Ketua mengangguk seakan dia telah mengetahui semuanya.

“Klub game sosial dibubarkan karena tidak cukup anggota. Ya, ‘kan?” Kai bertanya.

“Memang—” Ketua menjawab, tetapi hanya pembenaran itu yang diperlukan Kai. Dia mengabaikan ketua selagi mencoba mengatakan hal lain dan menarik selembar kertas dari tasnya. Kertas itu adalah formulir lamaran yang ia terima dari Nanaka tadi pagi. Dia menolak mengikuti klub, tapi gadis itu terus mendesak, dan akhirnya dia mengalah untuk setidaknya menerima formulir tersebut.

Kai sekarang menggunakan tasnya sebagai alas sewaktu menulis namanya dalam sekali gerak di kolom formulir. Tulisannya kacau, tapi dia tahu itu masih bisa dibaca. Dia mencoba menghantamkan kertas itu pada ketua, tapi gadis bernama Shizaki menangkapnya, sehingga Kai harus melangkah mundur.

“Ini belum selesai,” kata gadis itu dengan tenang. “Cap di sini.”

Kai tidak membawa stempelnya. Tentu saja, dia juga tidak punya bantalan tinta. Sebelum Kai dapat berpikir, tangannya gemetar; mungkin itu cukup membuktikan betapa banyak darah yang mengalir ke kepalanya. Dia secara paksa mengiris jempol kanannya dengan gigi. Darah yang merembes jauh lebih banyak dari dugaan, namun dia tetap menekankan jempolnya ke bagian yang disuruh.

“Aku masuk klub game sosial,” tandasnya. “Sudah tidak ada masalah lagi, ‘kan?”

“Tentu, kami menerima lamaranmu.” Jawaban gadis itu sangat tenang dan eskpresinya tidak berubah sedikit pun. Seketika itu juga, Kai merasa tenaganya mendadak lenyap.

“… Shiraseki-kun?”

“A—” Aku minta maaf karena sudah memutuskan semuanya sendiri! … adalah kalimat yang ingin diutarakan Kai, namun suaranya tidak mau keluar. Rasanya seolah udara di sekelilingnya berubah menjadi air dan keseimbangan tubuhnya mencair, dia juga kesulitan untuk terus berdiri tegak. Rasanya seakan ia berada di ruang tanpa gravitasi dan pandangannya memutih. Terlepas dari kondisi ini, pikirannya terasa jernih dan dia tahu bahwa darah masih tumpah dari ibu jarinya. Kini Kai kembali mengingatnya, dia sudah begadang dan tidak tidur sama sekali. Dia tersandung dalam perjalanan menuju stasiun kereta. Meskipun begitu, ini pastinya belum cukup untuk membuatnya menderita anemia ….

Dilimpahi warna putih dan perasaan terbang melawan gravitasi akhirnya membuat kesadarannya memudar.

Saat terbangun, hal pertama yang dia lihat tetaplah warna putih.

Pandangannya perlahan kembali normal setelah beberapa kedipan. Warna putih buram yang kini ia tatapi adalah langit-langit dan alas pembaringannya adalah kasur. Netranya meninjau keadaan sekitar dan menyadari bahwa ia tengah dikepung oleh tirai berwarna krim dan bau obat-obatan menyusup masuk ke hidungnya. Tampaknya dia kini berada di UKS.

Saat menyingkap tirai, dia melihat jas putih milik perawat sekolah, yang sedang duduk di kursinya. “Oh!” dia berseru. “Kau sudah bangun.”

“… ya.”

“Kau ingat kalau kau pingsan?”

“Aku ingat,” jawab Kai.

“Bagus. Kau akan baik-baik saja kalau begitu.”

Mentari sore masih berpijar melalui jendela. Bintang itu sudah tenggelam dan tak lama lagi akan ditelan oleh cakrawala. Tetapi, rasanya tidur Kai belum terlalu lama.

“Kau mengidap anemia ringan,” perawat memberitahu, “jadi, kau harusnya masih bisa pulang sendiri, tapi aku bisa memanggil orang tuamu jika kau mau.”

“Tidak, aku akan pulang sendiri,” timpal Kai sopan. “Terima kasih banyak.”

“Hati-hati di jalan.”

Kai berterima kasih dan meninggalkan ruangan. Kemudian, dia melewati koridor berwarna merah akibat pancaran sinar lembayung matahari yang memandikan setiap jendela. Namun, terdapat bayangan yang memanjang di lantai merah tua itu. Seorang gadis sedang menunduk memandangi ponselnya dan butuh beberapa saat hingga dia menyadari kehadiran Kai. “Shiraseki-kun!” panggilnya. “Kau baik-baik saja?!”

“A-aku baik.”

Nanaka bergegas menghampirinya dan meraih tangan kanan pemuda itu, lalu sentakan kesakitan mengingatkan Kai bahwa ia telah menggigit ibu jarinya. Dia menunduk dan melihat jarinya telah dibalut oleh kapas putih, sebagai tambahan perban biasa.

“Apa ini sakit?” tanya Nanaka khawatir.

“A-aku baik-baik saja …. Jadi …, bisakah kau … melepaskan tanganku?” pinta Kai. Belum pernah ada gadis yang memegang tangannya. Tak pernah sekali pun selama hidupnya. Terus terang, dia merasa malu. Jika kakaknya termasuk, maka sudah sering kali tangannya dipegang atau dia yang memegang, tapi itu tidak dihitung. Misako itu orang spesial yang disebut ‘kakak’ yang harusnya, tentunya, dan pastinya tidak boleh dianggap gadis seumuran.

Nanaka mungkin menyadari hal itu dan wajahnya memerah untuk suatu alasan selain karena matahari terbenam. Tangannya terlepas saat wajahnya tersipu. “M-maaf. Aku, um, aku khawatir. M-mari pulang!” pungkasnya.

“Y-ya,” Kai setuju meski gemetar.
Mereka berdua berjalan berdampingan menuju pintu utama, mengganti sepatu, dan keluar lewat gerbang sekolah. Kelihatannya kebanyakan murid masih mengerjakan aktivitas klub dan mereka dapat mendengar campuran suara dari berbagai macam klub yang menyeruak dari gedung sekolah.

Setelah berjalan cukup jauh tanpa berkata apa-apa, Nanaka dengan gugup membuka mulut.

“Apa kau … benar-benar mau masuk?”

“Oh.” Kai sudah lupa. “Ya, aku mau. Maksudku, kalau kau mengizinkan. Maaf sudah memutuskan segalanya sendiri tadi.”

“Kenapa kau meminta maaf?! Aku senang sekali! Tapi, kukira kau tidak mau ikut klub game sosial.”

“… Aku memang tidak mau.” Itulah alasan utama dia pindah, walaupun begitu …. “Meski aku tidak menyukai klubnya … aku tetap suka dengan game-nya,” jelas kai. “Makanya aku lebih tidak suka dengan ucapan ketua OSIS daripada klub itu …. Jadi, aku agak emosi. Maksudku, memangnya kenapa kalau aku menyukai game sosial? … Aoi-san?”

Nanaka berhenti di tempat dan memandang Kai. “Shiraseki-kun,” katanya, “kau suka sekali dengan game sosial, ya?” Kai kesusahan membaca ekspresinya saat mengatakan hal itu. Dia menampakkan wajah yang rumit, terlihat bahagia, tapi juga terkejut—dan bahkan murung.

“Tidak, yah, uh—” dia gelagapan, tidak tahu apa yang harus dikatakan.

“… Ya ampun,” Nanaka dengan tenang mendesah sedih.

“Huh?”

“Bukan apa-apa, jangan dipikirkan! Pokoknya, aku sangat suka itu! Memangnya kenapa kalau kau menyukai game sosial!” Nanaka terlihat seperti anak kecil, bernyanyi selagi berjalan dan mengulang-ulang kalimat, ‘memangnya kenapa, memangnya kenapa,’ dan menyusunnya ke dalam sajak. Lalu, dia berbalik ke arah Kai dan tersenyum kala mengulurkan tangan kanannya. “Baiklah, dari awal lagi! Namaku Aoi Nanaka, ketua dan perencana dalam klub game sosial. Ayo kita lakukan yang terbaik bersama-sama!”

“… Ya, ayo lakukan yang terbaik,” Kai sepakat, dengan malu-malu berjabat tangan sewaktu menyahut. Tangan Nanaka tipis dan kecil, dan jantung Kai berdebar saat menyentuhnya, jadi dia langsung menariknya kembali.
Mereka berjejer ketika melangkah menuju stasiun.

“Shiraseki-kun,” tanyanya, “kau tinggal di mana?”

“Uhh, tidak jauh dari Stasiun Niigata,” jawab Kai.

“Dari gerbang Utara?”

“Ya.”

“Oh! Syukurlah. Kita satu arah, jadi aku bisa mengantarmu.”

“……… Mengantarku? Maksudmu …, kau mau mengantarku ke rumahku?”

“… Ya?” Nanaka memiringkan kepala seakan tidak bisa memikirkan kemungkinan yang lain lagi. “Shiraseki-kun, kau tadi pingsan, tahu? Aku khawatir.”

“T-tidak, tunggu!” Kai mencoba protes. “Aku tidak apa-apa!”

“Kau belum sehat! Aku akan mengantarmu pulang, mau tidak mau!” Gadis itu sama sekali tidak ingin mengurungkan niatnya.

Kai berpikir memang sulit membantah orang yang benar-benar khawatir terhadapnya, jadi dia terpaksa setuju untuk membiarkan Nanaka ikut. Saat mencapai platform kereta, banyak sekali murid SMA Meikun yang ada di stasiun. Kereta jurusan Niigata berangkat tepat waktu dan mereka nyaris terlambat.
Kai berencana membeli bento untuk makan malam di perjalanan, tetapi ia tidak bisa mengelilingi distrik perbelanjaan jika ditemani Nanaka. Sebaliknya, Kai langsung berjalan pulang dari Stasiun Niigata. Sesampainya di rumah, matahari hampir tidak terlihat lagi dan malam mulai menyelimuti.

“Um, Aoi-san,” ucap Kai. “Ini rumahku, jadi …, aku sudah tidak apa-apa.”

“Huh?” Nanaka mungkin membayangkan rumah keluarga yang normal dan dia jelas terkejut melihat gedung apartemen kecil yang dibuat untuk seorang penduduk. “… Apa kau tinggal sendiri?”

“Ya,” jawabnya singkat. Wajah kakaknya membersit dalam pikirannya, namun Kai menggeleng seketika. Itu bukan berarti mereka tinggal bersama.

“… Shiraseki-kun, kau hebat sekali,” Nanaka memuji. “Kurasa kau mampu menjalani kehidupanmu seorang diri …. Semua orang memang hebat.”

“Menurutku tidak begitu ….”

Nanaka tampak murung, tetapi dia menegaskan hati dan kembali menyunggingkan senyum. “Baiklah Shiraseki-kun, sampai ketemu lagi!”

“Ah, ya,” sahutnya. “Sampai ketemu besok.”

Nanaka melambaikam ucapan selamat tinggal dan tidak berhenti hingga pemuda itu masuk. Kai sedikit menundukkan kepala, lalu membuka pintu. Dia menoleh ke belakang dan melihat Nanaka masih melambaikan tangan, jadi dia mengangguk lagi ke arahnya.

Kai punya firasat buruk ketika membuka pintu: ada sepasang sepatu. Itu bukan sepatu Kai. Kalau bukan sepatunya, maka hanya ada satu orang lagi yang menyimpan sepatu dalam kediaman ini. Dia dapat mendengar keributan, jelas-jelas suara dari orang yang berlari menyambanginya. Darah Kai tiba-tiba mendingin.

“Selamat datang, sayang~~~ Kau telat! Kau mau makan dulu? Mandi dulu? Atau mungkin—” Misako muncul dalam balutan apron telanjang (palsu) merah muda yang ia siapkan kemarin. Dia hampir menuntaskan seluruh kalimatnya dalam sekali tarikan napas sampai ia menyadari keberadaan Nanaka di belakang adiknya. “Huh?” Misako mengerjap. “Seorang gadis?”

 “Seorang gadis?”

Bam. Kai tidak mengatakan apa-apa begitu membanting pintu. Ada suara klik saat dia menguncinya, mengambil napas, dan berpura-pura tidak melihat apa pun. Dia tidak melihat apa pun. Tidak ada apa-apa. Oleh karena itu, untuk sebuah alasan induktif, gadis di belakangnya juga tidak melihat apa-apa.

“U-Um, Shiraseki-kun …, tadi itu siapa?”

Percuma, pikirnya.

“Kai! Siapa gadis imut itu?!” Pintu depan terbuka dan Misako bergegas keluar dengan apron telanjang imitasinya.

Terjebak di antara dua gadis saat mereka bertukar pandang, Kai lantas ingin menggali lubang dan mati di dalamnya.


Tinggalkan komentar