Our Crappy Social Game Club is Gonna Make the Most Epic Game Vol 1 Chapter 4

Di Sini Lagi

“Waw, aku kaget sekali.”

Nanaka mengambil langkah kecil ke depan dan tersenyum. “Aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya, tapi Shiraseki-kun … kau terkesan keren, jadi kukira kau sama sekali tidak tertarik dengan game ponsel.” Dengan kata lain: gelap, muram, energi rendah, sulit diajak bicara, tidak menyenangkan meski seseorang sedang berbicara dengannya … gadis itu melihat orang yang memenuhi kualitas dari sebongkah batu di tepi jalan dan secara optimis menerjemahkannya dalam kalimat ‘terkesan keren.’

Kai tahu dirinya mungkin tidak akan bisa belajar tentang seni percakapan hebat seperti itu. Sangat mengesankan. “… Aoi-san, kau juga tidak terlihat seperti orang yang tertarik dengan hal seperti itu,” timpal Kai.

“Oh, m-maaf!” dia berseru. “Aku tahu menilai buku hanya dari sampulnya itu salah.”

“T-tidak, aku tidak berkata begitu agar kau meminta maaf, aku hanya … maaf.” Jawaban itu bertemu dengan keheningan dan Kai mengikuti gadis tersebut dalam diam tanpa melemparkan umpan percakapan, mengingat semuanya jadi begini, mungkin akan lebih baik untuk tidak mengatakan hal yang aneh. Dia menutup rapat-rapat mulutnya seperti kerang dan memutuskan untuk tidak membukanya meski ditanyai. Akhirnya, dia lupa cara bicara dan berubah menjadi patung batu. Tentu pada titik ini, orang-orang di sekitarnya juga akan memahami bahwa dia hanyalah sebuah patung; percuma berbicara dengannya dan tidak ada siapa pun yang mau melakukannya. Bila ia membuka mulut, maka itu cuma ilusi. Patung tidak membuka mulut. Tidak akan ada yang tersakiti dan tidak ada yang kerepotan. Sempurna.

Selagi Kai melamun seperti orang idiot, mereka berdua akhirnya sampai di tujuan, dan Nanaka menunjuk pintu di hadapan mereka. “Ini klub yang aku ikuti,” paparnya.

“Kukira klub sastra yang terakhir?”

“Maaf, aku benar-benar lupa dengan klubku sendiri.” Dia tertawa canggung dan menggaruk kepala seolah sedang membelai diri sendiri. “Sudahlah, silakan masuk!”

Pintu terbuka dan Kai—tidak bisa masuk mengikutinya. Jalan terhalang. Pertama, ada berjilid-jilid manga dan majalah memenuhi lantai. Tumpukan pamflet mengalang di antara mereka sebab kertas-kertas itu juga berhamburan di lantai, akibatnya tidak ada bagian lantai yang bisa mereka tapaki. Terdapat sebuah meja yang berdiri di tengah ruangan dengan makanan ringan, minuman, dan berbagai jenis barang, serta figurine terbaring berantakan di atasnya, juga ada dua komputer di belakang, dengan dua gadis yang duduk berdampingan sedang mengoperasikannya.

“Ya ampun!” Nanaka mengomel. “Kenapa jadi kacau lagi?!”

Salah seorang gadis berbalik untuk menengok dengan mata yang letih. “Yo,” sapanya. “Pelaku di sini, melapor untuk bertugas.” ada kantung mata tipis di bawah matanya dan ukuran badannya saat berdiri tampak pendek sekali; tingginya mungkin di bawah 150 sentimeter. Walau peraturan sekolah telah melarang, rambutnya tetap dicat pirang dan diikat menggunakan pita hitam sehingga menjadi sepasang kuncir yang berayun hebat. Pakaiannya bahkan lebih kacau, sampai-sampai bisa diperdebatkan apakah dia mengenakan seragam atau hanya disaput di bahunya. Anehnya, dia tidak terlihat menakutkan atau mirip berandalan, namun tak diragukan lagi kalau dia punya masalah tersendiri.

Orang di sampingnya terus menatapi monitor tanpa berkata apa-apa. Headphone putih terselip dalam helaian rambut hitam malamnya. Tampaknya dia tidak dapat mendengar apa pun.

“Hmmm-huh?” kata si gadis pirang dengan heran ketika melihat Kai. “Siapa dia?”

“Oh, ya.” Nanaka yang dari tadi memunguti pamflet di lantai, kini berhenti untuk melambai pada Kai seakan dia baru saja ingat bahwa Kai ada di situ. “Shiraseki-kun, ayo masuk,” ajaknya, “setidaknya sudah ada ruang dekat pintu supaya kau bisa berdiri sekarang.”

“… B-baik.” Begitu Kai menapakkan kaki dan menutup pintu, ruang klub mendadak terasa sangat sesak.

“Ini Shiraseki-kun.” Nanaka memberitahu dua anggota lainnya. “Dia murid pindahan yang datang untuk mengunjungi klub kita!”

“… H-Hai,” sapa Kai.

“Salam kenal,” sahut si gadis pirang. “Aku Oushima Aya, tapi orang-orang memanggilku pencandu. Jarang sekali ada yang pindah sekolah, ya?”

“P-pencandu …?” Kai tertegun.

“‘Gacha lebih dari tiga kali sehari, aku bisa saja muntah dan mati, tapi seorang pencandu rela membayar untuk bermain.’ Itu julukan yang kuterima dengan senang hati. Aku ini pencandu gacha, jadi mereka memanggilku pencandu. Kau berasal dari mana, senpai?”

“Ah, ya,” sahut Kai, lega setelah mengetahui bahwa gadis itu adalah seorang pencinta gacha. “Aku dari Sekolah di Tokyo bernama ‘SMA Tsukigase.’”

“Tokyo, ya?” komentarnya. “Pasti sulit pin— tunggu, Tsukigase? Maksudmu, Tsukigase yang itu?”

“Tsukigase yang itu?” Ketika mendengarnya, Nanaka memiringkan kepala, penasaran.

“Memangnya itu terkenal?”

“Nana-sen, kau menanyai aku apa itu terkenal? Sungguh? Aku kaget sekali sampai-sampai aku hampir meng-gacha,” kata Aya. Kai baru menyadari bahwa dia sedang mengetuk-ngetuk ponselnya seraya berbicara, namun rupanya dia hampir melakukan gacha. “Tsukigase ya Tsukigase, klub game sosial terbaik di antara yang terbaik di Jepang. Nana-sen, kau main LW, ‘kan? Mereka menguasai seluruh perusahaan dengan Rondo waktu itu, tapi sekarang mereka sudah hancur dan bangkrut. Tapi yah, tahu tidak, kalau kau ada di sini, kau mungkin ingin masuk klub game sosial, ‘kan? Hebat sekali, Nana-sen. Kau menemukan seseorang yang siap tempur.”

“U-Um …,” celetuk Kai. Siap tempur? Dia penasaran. “Ini klub apa?”

“Huh? Astaga, ini klub game sosial,” jawab Aya. “Aku seorang programmer.”

“……… Klub game sosial?” ulangnya.

“Klub game sosial,” Aya mengonfirmasi.

“Secara teknis ini adalah Klub Pengembangan Game Sosial SMA Meikun.”

Namun, Kai sudah tahu hal itu. Tentu saja, ia tahu. Tak diragukan lagi, tak perlu dipertanyakan lagi, bahwa dia sudah tahu. Dia sangat tahu bahwa dia membencinya. Lagi pula, dia membencinya sampai-sampai harus melarikan diri, keluar dari sekolah, dan pindah ke sini. Tetapi, walaupun begitu …. “Ini klub game sosial?” tanyanya lagi.

Tempat ini berbeda dalam segala hal, suasana, dan bentuk dari sebuah klub game sosial yang ia ketahui, sehingga dia tidak mampu menyebut klub apa ini dalam sekali pandang. Aya dengan murah hati menjelaskan semuanya baik-baik, tapi tidak ada tanda sedikit pun mengenai pengelolaan dan pengembangan yang tertampil di monitornya. Layar hanya menampilkan game browser yang sedang populer. Gadis itu pasti cuma memakan snack dengan malas-malasan dan bermain game.

Orang yang bahkan tidak berbalik sepertinya adalah seorang ilustrator dan dia sedang sibuk menggambar di sebuah tablet. Paling tidak, dia tidak bermain-main seperti Aya. Dia memang sedang menggambar. Namun, entah dari mana Kai melihatnya, gadis itu jelas tidak menggambar karakter orisinal, tetapi sebuah fan-art dari anime yang saat ini tengah tayang. Bahkan dari kejauhan, Kai tahu bahwa gambar itu luar biasa bagus, tapi dapat dikatakan kalau kegiatannya itu bukan bagian dari aktivitas klub.

“…! Astaga, aku berhasil!”

“Apa …?”

Tiba-tiba, gadis itu menaruh penanya dan berdiri, menjerit dalam kegembiraan yang meluap-luap. Dia mengangkat kedua tangan ke langit-langit dan terus mengulangi, “Aku berhasiiiiiiiilll!” lagi dan lagi. Dampak gerakannya membuat headphone-nya jatuh dan menggelantung di leher gadis tersebut. Juntaian keras rambut hitamnya di bagian depan nyaris sepanjang yang di belakang dan menutupi sebagian wajahnya, hanya memperlihatkan satu mata yang hampir bisa dikatakan mengintip. Mata bulat itu terbukta lebar, memandang sesuatu yang sebenarnya tidak ada sembari terus meneriakkan, “Akhirnya tiiiiiiibaaaaaa!”

“Awas!” Nanaka memperingati, lekas melompat ke sisinya.

“Astaga, inilah karya terhebatku” sembur sang ilustrator. “Imut, imut, IMUT sekali! Ah, ahh, ahhh … agh?” Tiba-tiba, dia tumbang bagaikan boneka yang benangnya putus.
Nanaka sudah siap dan menunggu di belakangnya, seakan dia tahu ini akan terjadi, dan dengan erat menangkapnya saat gadis itu terjatuh. “Fiuh …” dia mendesah. “Oh, maaf, Shiraseki-kun. Tadi itu pasti mengejutkan.”

“Um, tidak—Apa yang terjadi?”

“Merepotkan sekali. Kenapa dia selalu seperti ini?” keluh Aya, yang menuntupi telinga dan kini menggeleng kesal. “Jangan terlalu mencemaskannya,” Aya memberitahu, “kapan pun dia menggambar sesuatu yang sangat bagus, dia punya kebiasaan menjadi terlalu senang dan pingsan. Semua bagian penting dari otaknya selalu di sedot karena hal-hal konyol itu.”

Setelah mendengar keterangan tersebut, pandangan Kai tanpa sengaja menilik. Dia tidak memperhatikannya tadi karena suasana yang menghiasi ruangan, namun dada ilustrator itu ternyata sangat besar. Mungkin karena lengan Nanaka menekannya, namun kesintalannya nyaris melampaui tingkat menakjubkan.

Gadis yang pingsan itu tidak berkutik dan mulutnya justru berbuih seperti kepiting. Menarik, pikir Kai. Kelihatannya dia memang pingsan. Kai merasa agak sulit untuk tidak khawatir. Atau mungkin ini hanya hal biasa di sini?

Pukulan ganda dari seorang programmer pencandu gacha yang menatapi layar gacha sambil berbicara dan seorang ilustrator yang pingsan setelah menyelesaikan gambar yang bagus. Itu semua dianggap normal di sini? Tempat ini memang berbeda dari klub game sosial yang Kai tahu dalam segala hal.

Setiap hari yang dihabiskan dalam pengembangan dan pengelolaan game sosial sekaligus merupakan pertempuran terus-menerus menghadapi ekspektasi para pengguna dan perlombaan melawan waktu. Abaikan jam istirahat, tidak ada waktu untuk disia-siakan dengan bermain-main menunggu dentingan lonceng.

Tunggu, tidak, Dia mengingatkan diri. Pokoknya, aku sudah selesai dengan semua ini! “P-permisi!” dia berhasil menyela, mengingat dia tidak bisa berada di tempat ini lebih lama lagi. “Aku mau pulang!” Dia memegang tangkai tasnya dan lari keluar dari ruangan menuju koridor. Sepertinya dia mendengar Nanaka memanggil, tapi Kai tidak menghiraukannya dan terus berlari. Dia menuruni tangga dan nyaris terguling hingga ke pintu utama, di mana dia berhenti cukup lama untuk mengganti sepatu. Setelah itu, dia melaju ke stasiun dalam kecepatan penuh dan melompat masuk ke kereta yang baru saja tiba.

Ini masih awal musim semi, tapi Kai sudah basah kuyup oleh keringat sembari terbuncang sesuai irama gerbong kereta yang berjalan menuju Stasiun Niigata.

“……… Apa yang kaulakukan, nee-san?” tanya Kai dengan letih. Kai tidak tahu apa yang harus diperbuat oleh seorang adik saat membuka pintu dan melihat kakak perempuannya datang menyambut dengan mengenakan apron sambil telanjang. Dia tahu tidak ada yang akan datang bertamu, tapi dia cukup penasaran apa yang hendak dilakukan sang kakak jika bukan Kai yang membuka pintu.

“Oh, um … ahem … bagaimana?” Misako bertanya balik.

“Kau menanyakan itu padaku ….” omel Kai, Menurutnya apron merah muda cocok dengan berbagai macam pose yang dipikirkan kakaknya. Yah, setidaknya ia sudah terbiasa.

“Kau laki-laki yang sedang pubertas,” kakaknya memberitahu. “Bukankah kau harusnya terangsang?”

“Dengan kakakku?”

“Ucapan itu akan mengadu domba dirimu dengan setiap anak di negara ini yang meratapi kelahirannya dan mengidamkan seorang kakak perempuan yang nakal!” Misako berseru.

“Ya … terserahlah,” sahut Kai, terlalu lelah untuk berdebat. “Bisakah kau memakai baju?”

“Fufu, tenang saja,” balas Misako, berputar-putar.

“Woah!” Kai dengan hati-hati membuka mata yang tadinya tertutup agar tidak melihat kakaknya telanjang, namun ia justru menemukan Misako yang menyeringai lebar. Dia tidak telanjang bulat—Kai dapat melihat pakaian dan celana pendek disembunyikan dengan cerdik sehingga pakaian itu hanya dapat terlihat dari belakang.

Bit tidak akan selesai sampai tiba di bagian punchline!” kakaknya bernyanyi.

(T/N: Bit dan Punchline adalah istilah dalam Stand-up Comedy, selebihnya silakan tanya pak google)

Suasana hati Kai tidak enak untuk terus meladeninya. Jadi, dia melewati Misako dan menuju kamarnya, kemudian menghempaskan tasnya ke kasur, lalu merogoh ponselnya karena paksaan dari kebiasaan. Itu cuma mengingatkan dirinya pada Nanaka yang menanyainya dengan mata berseri-seri, apakah dia suka bermain game smartphone, jadi Kai juga melempar ponsel itu ke kasur.

“Apa yang terjadi?” tanya Misako, bersandar di bingkai pintu.

“Tidak ada,” jawab adiknya singkat.

“Sudah kubilang bagian bit itu penting!” Kesedihan dalam suara Misako terdengar tulus. “Tahu tidak, aku ingin mengadakan seluruh sesi ‘Makan malam, mandi, atau diriku?’ saat kau pulang, tapi matamu ternyata suram sekali sampai-sampai aku tidak bisa melakukannya. Mana mungkin tidak ada yang terjadi. Coba lihat di cermin; meski ikan mentah sudah ditinggalkan selama tiga hari, kau masih terlihat lebih buruk.” Kemudian, Misako memperhatikan smartphone di kasur.

“Apa mereka punya klub game sosial?” tanyanya menebak.

“…… Bagaimana?”

“Adikku terlalu mudah ditebak.” Misako tergelak saat duduk di kasur dan mengambil ponsel tersebut. “Tahu tidak,” katanya,

“Menurutku melarikan diri itu salah.”

“Ada apa denganmu mendadak begini?” tanya Kai, terdengar gusar.

“Aku tidak bilang kalau orang-orang yang rela mengabaikan tubuh dan jiwa mereka untuk menghadapi masalah itu tidak benar,” dia menyambung, “tapi, tidak semua orang yang dengan senang hati melakukan hal itu; jiwa yang baru lahir itu seperti batu yang belum disentuh. Segala hal yang terjadi dalam kehidupan keseharian kita mengikis batu itu hingga terukir dalam bentuk yang kita sebut jati diri. Namun, jika kikisannya terlalu dalam dan batu itu pecah … maka tidak ada jalan kembali. Itu sebabnya melarikan diri untuk mengatur napas beberapa saat bukanlah suatu kesalahan.”

“… Kalau begitu, tinggalkan aku,” Kai memohon.

“Aku juga tidak bisa melakukan itu. Dengarkan aku, Kai: saat melarikan diri, waktunya harus sebentar saja,” Misako menekankan, “jika kau terus berlari, suatu hari kau akan tahu, bukannya lari untuk kabur dari sesuatu, kau malah lebih berusaha untuk terus berlari. Memang aneh, tapi begitulah kenyataannya. Kau kabur karena tidak sanggup lagi untuk berjuang, jadi kau mulai berusaha untuk terus melarikan diri—bukankah kau justru menempatkan kereta di depan kuda?”

Kai dengan tenang menerima ponsel yang diberikan kakaknya dan Misako menanggapinya dengan tersenyum.

“Dan itu mengakhiri alasanku pada editor saat aku kabur dari naskah yang kutulis dan ceramah yang kuterima setelahnya,” ungkapnya.

“Sayang sekali ….”

“Haha! Jika aku mengabaikan adik kesayanganku dengan masalahnya, aku tidak bisa meminta apa pun lagi,” ucap Misako, bangkit dari duduknya. “Baiklah! Ayo beli makanan untuk makan malam. Aku yang traktir.”

“Kau mau makan di sini lagi?” Kai keberatan.

“Memangnya kenapa? Bagiku, ini tempat terbaik untuk melarikan diri.”

“Sudah kubilang, naskah di rumahmu tidak akan tertulis sendiri.”

“Tidak! Tidak kedengaraaaaan!” Misako bernyanyi. Kemudian, dia menyeret Kai keluar dari rumah dan mereka berdua pergi berbelanja di toko yang berdiri di depan stasiun kereta. Warna yang kuat dari matahari terbenam membuat rambut perak Misako bersinar layaknya bintang. Kai awalnya berpikir bahwa itulah alasan orang-orang terus memandanginya, tapi saat diamati lagi, dia menyadari bahwa Misako masih mengenakan apron telanjang imitasinya. Tidak heran orang-orang melotot! Dia pun segera meminta sang kakak untuk melepaskannya, namun Misako sudah mengatur jebakan dan menunggu adiknya sadar sehingga gadis itu bisa kabur dengan riang, mengundang lebih banyak perhatian dari sebelumnya.

Mereka terus membuat kegaduhan hingga sampai di toko makanan. Dua bersaudara itu berpikir kalau membeli bahan-bahan dan memasaknya dari awal terlalu repot. Sebaliknya, mereka membeli beberapa bento dari sebuah rumah makan dan kemudian pulang. Misako pulang ke rumahnya segera setelah makan malam, mungkin karena jadwal deadline-nya benar-benar buruk.

“… Kalau kau sibuk sekali, tidak perlu memaksakan diri untuk datang,” Kai berceloteh di hadapan kakaknya.

Ketika sudah sendirian, Kai membuka BOX dengan ponselnya. BOX merupakan inisiatif dari pemerintah, dijalankan untuk menciptakan sebuah persatuan platform distribusi dari semua game smartphone dalam negeri. Baik game buatan perusahaan dan buatan murid didistribusikan melalui media tersebut.

Kai membuka halaman awal dan menyadari bahwa dia menerima beberapa poin. Kelihatannya itu untuk ujian semester akhirnya di SMA Tsukigase.

Saat “UU Fasilitas TI” mulai mendorong para murid untuk mengembangkan game sosial lewat aktivitas klub, suatu masalah besar terjadi. Bahkan sebelum sistemnya masuk dalam tahap pengujian, ada banyak kasus di mana para murid menggunakan kartu kredit orang tua mereka untuk membayar biaya yang mahal.

Demi menjadikan program itu bukan sekadar dongeng, pemerintah berusaha mengatasi masalah tersebut, dan solusi mereka benar-benar dijalankan secara langsung. Mereka akan memonitori terminal ponsel para murid melalui sistem sekolah dan melarang adanya pembelian dalam game melalui BOX. Jika tidak ada apa pun yang bisa dibeli, maka tidak akan ada masalah. Ada beberapa celah, namun solusinya sederhana. Sebagai gantinya, para murid akan menerima poin yang dapat digunakan dalam BOX berdasarkan kontribusi mereka terhadap sekolah.

Pada dasarnya, murid-murid dihadiahi dengan poin jika mereka sukses dalam ujian atau klub, dan semacamnya. Poin ini berguna untuk berbagai aplikasi yang tersedia dalam BOX dan bahkan memungkinkan untuk dipakai berbelanja.

Timbul kecaman pada saat sistem tersebut menghambat kebebasan para murid atau ada murid yang akan menggunakan uang mereka untuk bersenang-senang. Akan tetapi, pihak sekolah yang menerapkan sistem itu melihat peningkatan nyata dalam prestasi akademik. Mungkin konsep mengenai hadiah berupa poin yang bisa didapatkan lewat belajar memberikan jawaban mudah bagi banyak murid yang menanyai diri sendiri, “Untuk apa mempelajari ini?”. Saat semakin banyak sekolah yang mengadopsi kebijakan tersebut, rata-rata nilai ujian nasional meningkat secara proporsional dan suara penolakan berangsur-angsur menghilang.

“… Fiuh.” Kai selalu memeriksa semua game dalam peringkat 100 besar dan menjadikannya rutinitas. Tentu saja, dia juga memperbarui log di laptopnya sembari melakukan itu. Kombinasi dari semuanya membuat keseharian Kai sibuk. Akhirnya, dia menyelesaikan pekerjaan dan mematikan komputer. Dia juga hendak mematikan ponsel saat tangannya tiba-tiba berhenti.

“…” Dia menimbang-nimbang sebentar dan memutuskan untuk melihatnya lagi.

Kai berbaring di tempat tidur seraya mencari SMA Meikun di BOX dan menemukan sesuatu: ada game sosial yang berjudul Miracle Stage, di mana gadis-gadis penyihir dan idol adalah temanya. Grafis dari game-nya memang menakjubkan, namun kurangnya screenshot gameplay di halaman introduksi memberi Kai firasat yang buruk. Jumlah game “art trap” sama banyaknya dengan bintang di langit.

(T/N: Art Trap – Game yang hanya bagus di grafis)

Dia merasa agak kecewa saat mengetuk tombol unduh.

Ketika ia sadar, ada cahaya yang memancar dari celah gorden. Pagi telah tiba. “… Apa yang kulakukan?” dia bertanya sendiri. Kai Ingat saat dia berguling-guling di kasur sambil bermain game. Tapi, tanpa disadari, ia tiba-tiba sudah berada di meja belajar dengan laptop yang menyala.

Ini pelajaran pertama dari Akane: “Mainlah game sosial, tapi jangan akhiri begitu saja. Teruslah mencatat apa yang kaupikirkan, yang kaurasakan, dari kelebihan dan kekurangannya. Mainkan lagi. Catat lagi. Terus kumpul lebih banyak sampai menjadi harta karun yang bisa kausimpan dan ambil kapan saja. Harta berharga itu akan menjadi milikmu dan hanya milikmu seorang.” Gadis itu mengatakan kalimat terakhir dengan perasaan yakin.

Itulah alasan utama mengapa rutinitasnya saat ini melibatkan pencatatan data sebagai tambahan dari sekadar memainkan game sosial. Lembar lajur di layar laptopnya penuh dengan analisis mengenai segala hal yang berhubungan dengan Miracle Stage.

Kai memeriksa arloji dan menyadari bahwa sudah hampir terlambat untuk measuk kelas tepat waktu. Dia bergegas mencuci muka dan bersiap-siap sebelum berangkat ke sekolah. Sinar mentari menyengat matanya. Saat masih bersekolah di Tsukigase, dia sudah biasa begadang untuk memperbaiki bug dalam game, tapi dia tidak melakukan itu lagi untuk waktu yang lama hingga tubuhnya lupa dengan kekerasan dari matahari pagi.

Kai menampar kakinya yang terhuyung agar tegak dan segera berangkat. Jumlah orang dengan seragam SMA Meikun bertambah ketika Kai sampai di stasiun, dan begitu menginjakkan kaki di lantai kereta, dia langsung tersesak di dalamnya. Dari banyaknya kerumunan, Nanaka dapat terlihat dari belakang. Mengingat kejadian kemarin, dia tidak bisa memaksakan diri untuk berbicara dengannya. Dia tahu mereka akan bertemu di kelas, namun Kai ingin menundanya selama mungkin.

Tepat saat pemuda itu mencoba menyelip dari barisan orang yang menunggu untuk menaiki kereta, Nanaka berbalik dan mata mereka bertemu. Bukan hanya Kai yang menyadarinya; dia pun mundur dan kakinya mulai berlari secara spontan kala Nanaka dengan cepat menutup jarak.

“Shiraseki-kun!” panggilnya.

Kai mendengar panggilan itu dari belakang, mendorongnya lebih dekat dalam keadaan terdesak. Lelaki itu telah melewati gerbang tiket, jadi dia sudah tidak bisa keluar lagi. Satu-satunya pilihan adalah kembali mendaki tangga menuju platform lain.

“Kumohon, tunggu!” pinta Nanaka.

“Kenapa?!” Kai berteriak, penasaran mengapa gadis itu mengejarnya dari tadi. Sewaktu Kai masih kecil, dia pernah lari dari seekor anjing besar karena ketakutan. Anjing itu dapat menyusul dan mendorongnya hingga terjatuh. Namun ternyata, alasannya jelas: anjing tersebut ingin berguling-guling dan bermain.

Lalu apa alasannya di sini? Mengapa gadis itu mengejarnya? Sudah pasti bukan untuk berguling-guling dan bermain. Nanaka bahkan mungkin tidak memiliki kesan positif terhadap Kai. Lagi pula, Kai malah berlari pulang meski Nanaka sudah berusaha untuk menemaninya berkeliling.

Apa dia ingin mengeluh? Apa dia harus mengutarakan semua kesan negatif dari dadanya dengan mengomeli Kai? Kai bisa mengerti jika itu masalahnya. Manusia ternyata adalah wujud kehidupan yang dipenuhi dengan keluhan. Kai sudah cukup berpengalaman dalam hal itu selama mengemban pekerjaan pertamanya di Tsukigase, sebagai staf di bagian panduan pengguna. Sekubit bug dapat mendatangkan semburan hinaan dan celaan yang dikirim melalui tuntutan bantuan, seolah ada beberapa orang yang menunggu mereka membuat kesalahan.

Itu … kasar sekali. Mereka yang mengatakan hal seperti “Tak dapat dimainkan”, “aku ingin uangku kembali”, atau “kembalikan waktuku”, memang mampu diatasi. Namun terkadang, ada juga beberapa pesan yang berbunyi, “kuharap kalian mati saja”. Entah seberapa keras orang bekerja, akan selalu ada suara yang menyebut karya mereka hanyalah sampah atau game-nya seperti kotoran anjing.
Nanaka pasti berniat mengatakan hal seperti itu. Tidak ada alasan lain hingga dia rela bersusah-payah untuk mengejar. Tetapi, Kai tidak mau mendengar; dia tidak ingin disebut kotoran atau sampah, atau disuruh mati. Hal yang bisa ia lakukan cuma ka—

“Huh?” Dia terlalu terbawa pikiran sampai-sampai kakinya tersandung di tangga. Dia berhasil menjaga keseimbangan dengan memutar kedua lengannya bak kincir angin. Meski tidak jatuh, dia tidak punya waktu untuk menenangkan diri saat ponselnya terjun dari sakunya.

Tepat sebelum benda itu menmbentur anak tangga, tangan yang putih menyelip dalam pandangan dan menangkapnya. “Um…” Nanaka mengulurkan tangan untuk memberikan ponsel tersebut pada Kai dengan cara yang seolah-olah sedang mencoba memahami situasi.

“Ini.”

“T-terima kasih … banyak,” ucap Kai, meraih ponselnya. Tetapi, Nanaka tidak melepaskan genggamannya; justru, mereka terlihat seperti sedang bermain tarik tambang.

“Aoi … san?”

“Kau benci padaku?” tanya gadis itu tanpa berpikir.

“… Apa?”

“Kau lari begitu saja … jadi, kupikir mungkin aku berbuat sesuatu kemarin yang membuatmu benci padaku ….” katanya sambil terengah-engah.

“T-tunggu, tunggu tunggu tunggu, tidak, bukan begitu!” Terus terang, Kai mengira Nanakalah yang membencinya. Bagaimana bisa Nanaka menyimpulkan hal seperti itu? … Tunggu, dia menyadari. Dia mencoba berbicara padaku dan aku mengabaikannya. Selain itu, aku juga kabur secepat mungkin. Maka tidak heran kalau dia berpikir aku membencinya. Tidak sama sekali. Huh. Jadi, begitu perasaannya. Kai rupanya salah selama ini. “Kemarin, aku … yah, aku agak terkejut…” dia coba menjelaskan. Pemuda itu tidak berbohong. Ada banyak hal yang mengejutkan.

“Begitu …, ya,” sahut Nanaka, mengembuskan napas lega dari dalam lubuk hatinya. Lalu, dia menunggu Kai menyakukan ponselnya, kemudian berusaha mengumpulkan tekad.

“Um, Shiraseki-kun. Kalau tidak keberatan … maukah kau mengikuti klub game sosial?” Gadis itu membungkuk dan menambahkan, “kumohon.” Di tangannya, bertengger selembar kertas. Kai pernah melihatnya. Di bagian atas kertas tertera Formulir Lamaran Klub dan kolom dari Nama Klub bertuliskan klub game sosial.

Kai perlahan menggapai kertas tersebut, namun tangannya ditarik kembali sebelum dia berhasil mengambilnya. “… Maafkan aku,” ucapnya lirih. “Aku … tidak bisa masuk ke klub game sosial.”

“Apa karena … kami tidak cukup baik?” tebak Nanaka.

“Huh? Bukan, itu—”

“Itu tidak benar!” Nanaka tidak bermaksud membentak sebab dia langsung meminta maaf, dan kemudian mengambil napas dalam-dalam untuk mengontrol emosi sebelum melanjutkan, “Mereka berdua luar biasa. Hanya saja … aku tidak bisa apa-apa. Aku ketua klub dan perencana, tapi aku tidak tahu apa-apa soal game sosial. Aku bahkan tidak tahu mengenai SMA Tsukigase yang hebat itu …. Itu sebabnya mereka tidak punya hal untuk dikerjakan. Aku tahu mereka kelihatannya cuma bermain-main ….” Nanaka kembali menyodorkan formulir lamaran klub pada Kai. “Kumohon! Aku … tidak begitu pandai. Tolong pinjamkan kemampuanmu …!”

Kai ingin segera berlari, meloncati gerbang tiket bila perlu, dan kabur darinya. Tapi, saat menyadari tangan yang menggenggam kertas itu gemetar, entah karena khawatir atau terlalu gugup, kaki Kai tak sanggup beranjak. Ini bukan hal yang bisa ia abaikan. Perkataan Nanaka telah mengguncangnya. Dia ingin membalas kesungguhannya dengan kejujuran walau jawaban yang akan dia berikan tidaklah bagus.

“… Aku melarikan diri dari semua itu,” akunya, “aku tidak mau mengikuti klub game sosial lagi … aku tidak punya hak untuk itu. Jadi …, maafkan aku.”


Tinggalkan komentar