Our Crappy Social Game Club is Gonna Make the Most Epic Game Vol 1 Chapter 2

Misako, Hal Pertama di Pagi Hari

“Mimpi itu lagi ….” Kai mengedipkan mata ketika cahaya menyusup melalui celah tirai jendela. Sinar mentari musim semi terasa hangat dan lembut, namun mimpi yang mengerikan justru mengacaukannya. Masih ada 10 menit sebelum alarm berdering. Dia mematikan alarm di ponselnya dan bangkit dengan lesu. Berapa kali dia harus mengenang mimpi itu?

“… gh.” Kai menutup mulut seakan rasa muaknya bergemuruh. Kapan pun dia memimpikan sekolah itu atau hanya membayangkannya, perutnya akan terasa mual atau kepalanya pusing tak tertahankan. Dia lari dari klub juga sekolahnya, tapi tidak bisa lolos dari mimpi tersebut. Lalu apa yang harus ia lakukan?

Perlahan dan sedalam mungkin, dia menarik napas lalu menghembuskannya untuk menjernihkan pikiran. “Fiuh,” dia akhirnya merasa lega, menghembuskan kembali napas berat berikutnya. Setelah beberapa saat menatapi layar hitam ponselnya, Kai pun kembali tenang dan waktu yang disetel di alarmnya telah tiba.

Sadar bahwa dia harus membasuh muka, Kai bangkit dari tempat tidur dan bergegas menuju ruang keluarga. Tidak perlu menyalakan lampu karena memang sudah menyala. Di depannya terdapat sosok yang baru saja terbangun; mengenakan jersey dan menonton TV, kakak perempuan Kai, Misako, sedang menyeruput secangkir teh kuat-kuat.

Dia menegakkan kacamata berlensa tebal dan memandang Kai dengan tatapan mati. Ada kantung besar di bawah matanya. Biasanya, rambut panjang berwarna perak itu akan kusut setelah tidur, namun hari ini tampak lembut dan lurus. Dia mungkin tidak tidur sama sekali.

“Selamat pagi, Kai,” sapanya.

“Apa yang kaulakukan, nee-san?”

“Aku sudah membuat banyak kemajuan dengan pekerjaanmu sampai-sampai aku harus menggunakan semua waktu luangku,” Misako menjelaskan. “Jadi, aku datang memeriksa adikku yang belum terbiasa hidup sendiri.”

“Aku terus memberitahumu hal ini,” bantah adiknya, “tapi menurutku naskahmu akan tetap berwarna putih seperti salju kalau kaudatang.”

Misako membeku dan mulai melotot tanpa mengatakan apa-apa. Dia lalu memundurkan tehnya dan diam-diam melepaskan kacamata. Pupil dibalik kacamata itu mirip kacang almon dan, dipadukan dengan wajah rampingnya, terkesan seperti seekor rubah.

“Jangan melepas kacamatamu hanya untuk memelototiku …,” Kai memperingati.

Matanya yang juling mendalamkan kerutan di keningnya, membuang wajah cantiknya hanya untuk melotot. Bila Kai mencoba hal seperti itu, dia mungkin akan terlihat menyerupai buah kesemek yang remuk.

“Kai,” panggil Misako dingin.

“Apa?”

“Kau lebih baik meminta maaf, atau ….” Misako tersenyum seakan dia hendak menunjukkan kartu trufnya. “Kakakmu akan … menangis.”

Saat rubah mempermainkan manusia, pasti seperti itu raut wajahnya. Itulah yang dipikirkan Kai saat melihat senyuman Misako.

“Aku mau menangis, aku mau menangis!” ratapnya. “Aku akan menangis dalam tiga detik! Satuuuuu, duaaaaaa, ti—”

“Maafkan aku,” Kai lantas meminta maaf. “Aku terlalu … yah, tidak juga, tapi mungkin aku seharusnya tidak bicara begitu.”

“Baik sekali,” kata Misako, dengan puas memakai kacamatanya. “Sekarang, biarkan aku menyajikan secangkir teh untukmu. Tapi pertama-tama, aku ingin kau pergi membersihkan ekspresi kasar itu dari wajahmu.”

Tampaknya, novel Misako saat ini berisi tokoh-tokoh berupa bangsawan dan ksatria. Dia mengubah gaya bicaranya dengan cepat tergantung pada suasana hatinya dan cerita yang ia ciptakan sebagai seorang novelis.

“Terima kasih.”

“Ada apa, nona?” tanya Misako dengan bangga. “Apa kau jatuh cinta padaku?”

“Aku ini laki-laki, ingat?” Kai hendak memberitahunya untuk mencuci muka juga, namun tidak jadi. Percakapan dengan Misako cenderung terus berlanjut begitu mereka mulai. Alih-alih cuma mengoceh secara sepihak, dia punya kebiasaan mengajak orang lain untuk berbicara juga, sehingga perbincangan tak pernah berakhir. Sebaliknya, Kai mendesah saat dia akhirnya melangkah menuju kamar mandi.

Meski begitu, bukan berarti rumahnya sangat besar. Hanya ada dua ruang utama: kamar, yang berisi tempat tidurnya, dan ruang keluarga, yang kini disinggahi Misako. Selain itu, hanya ada koridor yang menghubungkan ruang keluarga, yang berhubungan dengan kamar kecil wanita, ruang laundry, dan kamar mandi. Itu sudah cukup besar bagi seorang murid SMA yang ingin hidup sendiri.

Hidup sendiri membutuhkan biaya, jadi Kai awalnya berencana untuk tinggal di apartemen satu kamar yang lebih kecil. Namun, Misako (yang tinggal di daerah tersebut) sangat menentang gagasan ini, jadi dia membatalkan idenya. Menurut Misako, Niigata adalah daerah bersalju, dan musim dinginnya jauh lebih dingin dari tempat mana pun di Tokyo; satu ruangan tidak akan tetap hangat tanpa ruang depan, entah seberapa lama alat pemanas ruangan dinyalakan.

Di ruang tamu, Kai bisa mendengar Misako bersenandung saat dia membuat teh. Dia mendengar senandung aneh itu sampai ke kamar mandi, tempat ia menampung air keran di tangannya dan memercikkan air itu ke wajah dengan penuh semangat. Air keran Niigata membasahi mulutnya; rasanya jauh berbeda dari ingatan tentang Tokyo yang perlahan mengabur. Untuk pertama kalinya, Kai merasa seolah dia bisa terbangun dari mimpi buruk tersebut.

“Apa kau butuh sesuatu?” tanya Kai, begitu kembali ke ruang keluarga.

Sebagai jawaban, Misako mengedikkan bahu dengan gerakan yang berlebihan sampai-sampai terlihat mau roboh. “Jangan cepat marah,” dia menegur adiknya. “Kau harus tahu kalau orang tuamu memintaku untuk mengawasi anak berharga mereka.”

“Dan mereka memberitahuku untuk merawat kakak serampanganku,” balas Kai.

“Sudah jelas aku merawat adik kesayanganku setiap hari,” Misako melanjutkan, mengabaikan jawaban itu. “Tapi tentu saja, hari ini adalah hari di mana adikku akan memulai perjalanannya dalam dunia yang baru! Ini panggilan untuk ….”

“Untuk …?”

“Doa supaya kau mengacaukan kesan pertamamu secara menakjubkan!”

“Kau mengerikan ….” omel Kai. Dalam segala kemungkinan, inilah tujuan utama dibalik kunjungan Misako, makanya tidak menyenangkan. Dia tentu serius sebab baginya itu lebih seru.

“Maksudku, kau tidak perlu meninggalkan sekolahmu di Tokyo untuk pindah, bukan?”

“… Kenapa kau menanyakannya sekarang?”

“Sekarang memang awal tahun baru, tapi juga tahun keduamu …. Orang lain sudah menghabiskan satu tahun bersama dan mereka mungkin sudah mengenali wajah-wajah orang lain di kelas mereka. Ditambah, mereka juga punya koneksi lewat klub. Memangnya seorang murid baru bisa langsung masuk seperti itu …?”

“Bisakah kau berhenti menakutiku seperti sedang bicara sendiri?” tanya Kai getir.

“Haha! Pastikan kau mengacau semenakjubkan mungkin,” Misako memberi saran. “Kalau cuma setengah hati, jadinya akan terlalu biasa untuk ditertawai.” Lalu, bibir yang senang menggoda Kai itu menjeda dan Misako melayangkan tatapan bingung. “Kau tidak mau melakukannya?”

“Melakukan apa?”

“Ritual di mana kau membariskan banyak smartphone di depan laptop,” dia mengingatkan. “Kau dulu melakukan hal itu sepanjang waktu, ingat?”

“Ritual …? Itu tidak terlalu penting,” jawab Kai, meski sampai saat ini, dia sudah punya empat smartphone. Dari semua itu, dia menggunakan satu sebagai ponsel utama untuk memanggil dan mengirim pesan. Tiga lainnya hanya digunakan untuk sarana aplikasi permainan—artinya, untuk memainkan game sosial.

Memainkan banyak game sosial membuat pagi harinya sangat sibuk. Ada bonus login (hadiah yang bisa didapatkan dengan membuka game setiap hari) yang harus ia kumpulkan, play point (poin yang dibutuhkan untuk bermain game, biasanya disebut stamina atau semacamnya) dia harus memakainya agar tidak mubazir, dan event yang harus diselesaikan. Setiap pagi, dia melakukan semuanya dengan empat ponsel secara berurutan demi memaksimalkan efisiensi. Laptop berguna untuk mencatat data.

Kai seharusnya membariskan ke-4 ponsel itu di meja dan secara robotik, mengetuk semua layar sembari mencatat kumpulan data ke dalam lembar Excel. Itu terlihat seperti ritual keagamaan dari sudut pandang orang lain.

“… Aku tidak mau hari ini,” akunya, mengingat semua itu kerena mimpi tersebut. Dia sudah merasa letih sebab ini hari pertamanya sebagai seorang murid pindahan, namun mimpi buruk semacam itu merupakan pukulan telak pertama di pagi hari.

“Begitu, ya,” Misako mengamati dengan santai. “‘hari ini, ya?”

“Memangnya itu penting?” tanya Kai.

“Yup, penting sekali. Mungkin hanya mirip upacara aneh bagiku, tapi bagimu, itu rutinitas berharga dalam keseharianmu.”

“… Jangan menyimpulkannya sendiri,” dia memberitahu.

“Apa kau mau mengikuti klub game sosial juga di sini?” kakanya bertanya.

“… Tidak.” Dia pindahan dari Tokyo, jadi itu tidak akan terjadi. Kai tidak akan pernah berminat untuk melangkah ke sisi developer game sosial lagi.

“Begitu, ya,” ucap Misako, mengangguk dengan ekspresi yang lembut.

Kai tidak bisa mengatakan apa-apa di hadapan perubahan sikap kakaknya yang mendadak itu. Dia pun menyalakan TV saat tidak tahan dengan keheningan yang datang tiba-tiba. Berita pagi yang muncul adalah daftar peringkat game smartphone teratas pagi ini, entah itu baik atau buruk. Posisi pertama diduduki StrikeMon, kedua D&P, ketiga ….

Game sosial benar-benar menyebar dalam masyarakat normal. Paling tidak, hal itu sudah cukup berpengaruh hingga diadakan acara TV pagi dengan slot waktu yang didedikasikan untuk peringkat penjualan.

Kebanyakan generasi muda yang bermain dan sejak game sosial diperkenalkan secara langsung ke sekolah anak-anak, orang tua mereka juga mulai peduli.

Alasan game sosial berkembang sepesat ini adalah karena adanya undang-undang dari pemerintah yang disebut “UU Fasilitasi TI”, legislasi yang membentuk Program Fasilitasi Teknologi Informasi dan mendorong para murid untuk menciptakan game sosial sebagai aktivitas klub.

“Aku tidak tahu apa yang kutonton,” Misako berujar. “Tapi, game yang kaukerjakan pernah masuk dalam daftar ini. Ya, ‘kan?”

“… Beberapa kali,” Kai menjawab santai.

“Itu luar biasa,” pujinya. “Maksudku, ada beberapa perusahaan game yang bahkan aku tahu dalam acara ini.”

Ada banyak kemajuan tercipta dalam dunia perkembangan game dan kini ada game-game soisal buatan murid yang berlevel sama dengan judul-judul game buatan perusahaan besar. Apalagi, engine pembuat game berperforma tinggi, Alchemia, meningkatkan standar game buatan murid sesegera mungkin setelah engine itu muncul. Penciptanya masih tidak diketahui. Satu-satunya hal yang orang-orang tahu adalah, developernya menyebut dirinya “Gacchaman”. Keadaannya semisterius kemunculan mereka, namun bahkan analisis keamanan tingkat korporasi menyatakan bahwa itu bukanlah virus berbahaya, dan engine tersebut sangat fenomenal hingga sejumlah besar game sosial saat ini menggunakannya sebagai engine pengembangan game mereka.

Dari perspektif korporasi, Meningkatnya jumlah siswa dengan pengetahuan kerja langsung di lapangan menyebabkan perusahaan TI papan atas mengirimkan tawaran pekerjaan tidak resmi kepada mereka yang menunjukkan hasil yang baik. Dan beberapa bulan yang lalu, Kai pernah menjadi salah satu murid SMA terkenal sebagai pembuat game sosial di Jepang. Tapi kini dia sudah pindah, jadi itu hanyalah masa lalu.

Hey, tunggu sebentar.
 Kai memutar ulang otaknya beberapa kali. Ada yang aneh dari acara berita yang baru saja dia tonton. Itu dia! D&P di tempat kedua?! Tidaktidaktidak, game itu jadi yang pertama selama 3 bulan berturut-turut! Aku yakin tim D&P tidak melakukan kesalahan apa pun, jadi StrikeMon pasti melakukan sesuatu. Tindakan macam apa yang mereka rencanakan? Aku harus memeriksa—

“‘… Aku tidak akan mengikuti klub game sosial’, ya ‘kan?” Misako bertanya dengan mengulang pernyataan Kai barusan.

“A-aku hanya penasaran karena kebetulan melihatnya di TV fan—” Kai berhenti menggerakkan tangan yang tanpa sadar meraih ponsel di sakunya dan Misako cekikikan seperti anak-anak yang tertawa jahil.

Sekolah baru Kai tidak berada di kota besar, jadi diragukan kalau mereka punya klub game sosial. Perusahaan TI umumnya berdiri di area perkotaan dan klub game sosial kebanyakan ada di Tokyo. Daerah kecil seperti Niigata mungkin dihuni oleh beberapa orang yang bermain game sosial, tetapi menurut penciptanya, klub game sosial mana pun di sini pasti kalah jauh jika diperbandingkan.

Misako sudah mengatakan bahwa Kai tidak harus keluar dari kota, tapi lingkungan pedesaan adalah hal yang sedang diincarnya saat ini: dia tidak akan bertemu lagi dengan klub game sosial, juga karena alasan yang sama sehingga dia melarikan diri dari Tokyo .

“… Aku tidak mau,” tegas Kai.

Misako sudah lelah dengannya, tapi dia masih menyunggingkan senyum tipis. “Membuang rutinitas sehari-harimu itu tidak mudah,” dia memberitahu.


***


Sekolah berjarak 20 menit dari Stasiun Niigata dan kereta telah disesaki oleh kerumunan murid, semuanya mengenakan seragam yang sama seperti Kai. Pasti selalu seperti ini saat sekolah baru dimulai. Pikirnya. Gerbong kereta terasa hidup dengan pembicaraan murid-murid SMA di sana-sini dan beberapa orang dewasa berpakaian rapi, yang hendak pergi bekerja, terlihat sangat tidak nyaman.

Walau berseragam sama, Kai tidak punya siapa-siapa untuk diajak bicara dan dia merasa lebih dekat dengan orang dewasa yang memakai setelan dibanding murid-murid sebayanya. Dia menyelipkan sepasang earphone di telinga dan mengikuti para pekerja yang meringis selagi kereta bergoyang.

Motto SMA Swasta Meikun adalah “Pena dan Pedang”. Dengan terciptanya cabang SMP beberapa tahun yang lalu, tempat itu menjadi kombinasi antara kedua tingkat persekolahan. Dari penelitian daring Kai, dia menemukan bahwa poin ketertarikan utama sekolah tersebut adalah banyaknya jenis kegiatan klub dan fakta mengenai turunnya tingkat kelahiran menyebabkan masalah dalam jumlah siswa yang merosot.

Sekolah itu dikelilingi oleh sawah di setiap sisi dan di ujung sawah, berdiri punggung bukit, tak terhalang oleh bangunan ciptaan manusia. Kai berhenti untuk sesaat dan berpikir kalau ini mungkin pemandangan pedesaan pertama yang ia lihat sejak pindah ke Niigata.

Dia berhenti di ruang guru sebelum menuju kelasnya. Walau ingin langsung ke sana, dia tidak akan tahu arahnya. Setelah menjelaskan situasinya pada seseorang di ruangan tersebut, dia diserahkan pada seorang guru yang sudah tua dengan banyak keriput dan rambut beruban. Mungkin hanya tersisa beberapa tahun lagi sebelum pria itu pensiun.

“Kapan kau pindah ke sini?” guru tua itu bertanya.

“Yah, aku sudah tinggal di sini sejak bulan Maret,” Kai menjawab.

“Jadi, kurasa kau perlu waktu untuk terbiasa hidup di sini. Ho ho ho!”

Cara guru itu tertawa terkesan seperti pria tua yang periang. Namanya adalah Haimura. Dia pengajar sastra klasik, dan ternyata, beberapa murid memanggilnya Hai-jii. Aksen pria tuanya agak berlebihan, namun anehnya, Kai menganggap itu sangat sesuai.

“Kau bisa memanggilku sesukamu, nak,” Haimura menyarankan dengan ramah.

“Baik … Haimura-sensei.”

“Buset, kamu tidak lucu,” guru tua mendesah. Kai berpikir mungkin Haimura sedang mencoba untuk meringankan kegugupannya dengan candaan ringan sembari menyusuri lorong bersama. Ketika mereka menghampiri kelas 2-D, guru itu melemparkan tatapan pada Kai seolah memeriksa kembali suatu hal. “Apa kau sudah siap?”

“Ya, aku siap,” Kai mengonfirmasi.

“… Kau yakin? Ada uh, yang itu, bukan?” Haimura bertanya, mencoba menebak. “Jika kau merusak debut SMA-mu saat ini, semua bisa kacau, ‘kan? Kau bakal diasingkan di Twitter dan RNR di LINE, dan, uhh, apa lagi, ya?” Memang tidak cocok disebut sebagai pengetahuan kerja, tapi dia kelihatannya familier dengan banyak istilah slang. Dia sampai mengetahui semua itu di usianya yang setua ini, mengajar pasti pekerjaan yang sangat sibuk.

“… Aku rasa aku akan baik-baik saja,” Kai membalas.

“Baiklah, mari masuk.”

Ketika Kai mengikuti Haimura ke dalam, rasanya seolah dia ditusuk hidup-hidup oleh pandangan semua orang. Dia sudah sering mendengar kiasan “murid pindahan di awal semester” melalui manga dan anime sampai-sampai membuatnya muak, tapi mengalaminya sendiri merupakan suatu hal yang hanya bisa ia deskripsikan sebagai neraka dunia.

Pertama, tatapan-tatapan itu tak kenal ampun. Itu saja sudah menyakitkan dan melelahkan. Tidak sering baginya dinilai oleh orang lain secara ekstensif. Selanjutnya, begitu Kai mengambil posisi di podium guru, semua tatapan datang tepat dari hadapannya. Ada dua orang gadis yang duduk di samping jendela dan saling bertukar pandang, sementara Kai membaca gerak bibir mereka untuk menebak apa yang mereka katakan, “Dia biasa saja.”

Maaf karena aku tidak keren, 
balasnya dari dalam hati. Biarkan saja aku, aku juga bukan orang jahat, oke … tunggu, tidak ada waktu untuk meminta maaf dalam hati, semua orang menunggu perkenalan diriku.

Ajaran Akane tiba-tiba melintas di benaknya. “—Singkat, jelas. Dengar, Shiraseki. Seorang perencana harus berkebalikan dengan banyak developer. Wajar juga kalau kau mengusulkan rencana pada mereka. Hal terpenting yang bisa kau perbuat dalam keadaan seperti itu adalah menceritakan tentang dirimu secara singkat dan jelas. Aku tidak menyarankanmu untuk menjelaskannya dengan menarik dan lucu. Singkat, jelas. Cuma itu yang harus kaucamkan di kepalamu—”

… Singkat dan jelas 
. Dia mengulangi kalimat tersebut dalam batin dan mengambil napas dalam-dalam. Kemudian, secara perlahan mulutnya terbuka. “N-namaku Shiraseki Kai. Sebelum pindah ke sini, aku bersekolah di— Er, yah, maksudku itu sudah jelas, tapi, uh, a-aku bersekolah di SMA Tokyo. Baru satu bulan sejak pindah ke sini, dan aku masih, uh, belum mengenal siapa pun …. T-terima kasih sudah menerimaku”

Tepukan tangan yang suaranya jarang-jarang terdengar dan dia menanggapinya dengan senyuman setengah hati yang canggung.

Kai sebenarnya berniat tersenyum dengan normal, tetapi bibirnya tidak mau bergerak sesuai posisi. Dari sudut pandang teman-teman sekelasnya, diragukan kalau mereka bahkan tahu bahwa dia mencoba tersenyum atau tidak.

“Lihat, ‘kan? Sudah kubilang kau mengacaukannya,”
 ucap bayangan Misako dalam pikirannya, tampak puas mengejek.

Ya ampun, 
Kai secara batin menghukum dirinya sendiri. Apa maksudmu, “Aku belum mengenal siapa pun, jadi terima kasih karena sudah menerimaku”? Terima kasih untuk apa? Kenapa?! Tidak bisakah kau setidaknya mengatakan, “Mohon kerja samanya”?!

Bukan, yah, aku berencana untuk mengatakan sesuatu seperti, ‘Aku belum punya teman, jadi aku ingin akrab dengan kalian’.
 Dia bahkan sudah berlatih tadi malam saat sedang mandi. Akan tetapi, kalimat itu tidak keluar ketika waktunya tiba dan hasil akhirnya malah “Terima kasih sudah menerimaku” yang sama sekali tidak ada artinya. Yang berhasil ia lakukan hanyalah membiarkan seluruh dunia tahu bahwa dia tidak memiliki satu pun teman di Niigata. Itu sama sekali tidak singkat dan jelas!

Kai mengambil tempat duduknya di bangku paling belakang, tepat di samping jendela, dan menghela napas berat. Jika ingin melupakannya begitu saja, dia tentu harus membenamkan wajahnya di meja.


Tinggalkan komentar