Our Crappy Social Game Club is Gonna Make the Most Epic Game Vol 1 Chapter 1

Tidak Ada Tempat Untukku di Sini

Klik. Ketika pintu terbuka, obrolan antar anggota klub yang memenuhi ruang rapat jatuh dalam keheningan. Kurenai Akane, ketua klub, yang berambut hitam panjang dan lurus sampai ke pinggang. Dia tetap bertahan di tengah keheningan dan langkah kakinya sangat nyaring terdengar begitu memasuki ruangan.

Untuk sesaat, Shiraseki Kai bertemu pandang dengan gadis tersebut. Pemuda itu pun buru-buru mengalihkan mata sebab tidak ada hal lain yang bisa dia lakukan. Dia ingin kabur bila memungkinkan, namun ada orang yang akan langsung mencegatnya akibat masalah yang ia perbuat.

Ada meja bundar yang lebar di tengah ruangan, di samping papan tulis putih. Sambil membelakangi papan tulis, Akane menduduki kursi utama dan mulai berbicara. “Maaf, aku terlambat,” katanya, “sekarang, mari mulai rapat mingguan kita.”

Dia sebenarnya terlambat 30 detik dalam rapat yang diadakan jam 6 sore. Seharusnya tidak dibutuhkan ucapan maaf, namun dia tipe orang yang lebih keras pada dirinya sendiri dibanding dirinya dengan anggota-anggota lain. Tentu saja, dia masih mengharapkan kesepakatan besar dari mereka; menerima persetujuan ketua adalah tujuan bagi semua anggota klub.

“Kita memang punya lebih banyak mata dan telinga dari sebelumnya,” dia melanjutkan, “tapi, itu tidak mengubah apa yang harus kita capai. Seperti biasa, pertama aku ingin mendengar laporan dari Tim 1.”

“Dimengerti.”

Ada sepuluh murid lain di sekeliling meja.

Apabila mayoritas anggota dalam ruang klub tak dikenali dengan baik oleh sang ketua, maka kesepuluh orang itu adalah sebuah pengecualian—prestasi mereka masing-masing sudah diakui oleh ketua klub. Setiap anggota merupakan direktur yang bertanggung jawab dalam pengawasan pengembangan dan pengelolaan game sosial yang diciptakan oleh Klub Pengembangan Game SMA Tsukigase.

Murid laki-laki, yang berperan sebagai direktur dari Tim 1, menarik kabel berbentuk pegas dari tengah meja dan mencolokkannya ke laptop. Singkat setelahnya, proyeksi presentasi tampil di papan tulis.

“… Maafkan aku,” ucap direktur Tim 1, yang beralih melanjutkan laporannya mengenai topik yang telah ia persiapkan. Proyek Tim 1, LW—juga dikenal sebagai Last World—adalah judul game terlaris dalam Klub Game Sosial SMA Tsukigase. Game itu sendiri berupa RPG fantasy turn-based, namun dengan tambahan permainan co-op dan pembaruan yang konsisten untuk memanfaatkan tren dan memungkinkannya mengumpulkan basis pengguna yang besar.

Setelah tim pertama, majulah tim kedua, lalu ketiga, dan seterusnya. Biasanya, orang-orang yang yang diizinkan mengikuti rapat Jumat mingguan adalah Akane (produser tunggal dalam klub) dan 10 tim direktur. Tapi, rapat hari ini berbeda, semua anggota klub diizinkan untuk ikut. Itu berarti, ada lebih dari 300 orang yang menyesaki ruang rapat, dan itu juga alasan kehadiran Kai di sini, meski dia tetap dipanggil saat rapat tidak terbuka untuk semua anggota klub.

Alasan utama semua anggota berkumpul di ruang pertemuan sangatlah sederhana, yakni untuk mendengar laporan dari Tim 10—tim milik Kai—dan bukan hal lain. Presentasi terus berjalan hingga tiba waktunya bagi Ginjou, direktur Tim 10, menyampaikan laporan.

“Tim 10 melaporkan …, ada banyak hal yang harus kami kabarkan hari ini,” Ginjou memulai. “Pertama, segi penjualan: kami dari Tim 10 mengawali pekan dengan mengadakan event hari jadi Rondo yang pertama. Berkat promosi event, kami melihat adanya lonjakan pengguna dan berharap akan ada pencapaian tertinggi … Namun sampai sekarang, kami belum mendapatkan penjualan sedikit pun.”

Ruang rapat yang luas seketika menjadi heboh dipenuhi dengan suara bisik-berbisik. ‘Belum mendapatkan penjualan sedikit pun’ berarti bahwa mereka belum membuat apa pun, dan bagi sebuah tim di Klub Game Sosial SMA Tsukigase, itu sangat mustahil. Dan terlebih lagi, penyataan itu datang dari pengembang Rondo. Girls’ Symphonic Rondo berada di posisi kedua setelah LW dalam tingkat penjualan bulan lalu. Sekarang, angkanya mendadak menyentuh nol? Turunnya pendapatan mungkin dapat dimaklumi, tapi tidak memperolehapa-apa tentu tidak akan terjadi dalam situasi yang normal.

‘Dalam situasi yang normal’, tentunya.

“Diam,” tuntut Akane. “Aku tidak ingat telah mengizinkan lalat masuk dalam ruang rapat ini. Angka tidak berbohong: Jika kau anggota klub ini, akui saja apa adanya. Ginjou, lanjutkan laporanmu.”

“Alasan utamanya adalah kecaman yang menyatakan bahwa, ‘ada kecurangan dalam tingkat kesuksesan gacha Rondo’, di hari sebelum event-nya dimulai,” Ginjou terus menjelaskan. “Tak perlu dikatakan lagi, tapi ini sangatlah tidak benar—itu penipuan—dan sama sekali tidak ada kecurangan.”

“Tapi, para pengguna memercayainya,” Akane menyisipkan.

“… Untuk mendukung argumen mereka, pengecam membocorkan data asli, yang menimbulkan anggapan umum bahwa tuduhan itu benar,” ujar Ginjou. “Data tersebut amat terkendali, jadi mustahil dicuri oleh orang luar. Aku meminta tim keamanan untuk melakukan investigasi dan rupanya sama sekali tidak ada tanda-tanda peretasan. Satu-satunya kemungkinan yang tersisa adalah … maaf, aku tidak bisa menjelaskan lebih banyak lagi.”

Kai berkedip atas penampilan ketua timnya, yang jelas-jelas palsu; Ginjou adalah orang yang rela memerankan tindakan semacam ini. Prioritas utamanya adalah menapaki tangga klub dan akan melakukan apa pun untuk mencapai tujuan. Tindakannya diperhitungkan untuk menjamin opini orang-orang terhadapnya tidak akan pernah merosot. Dia menyerahkan pencarian pelaku pada Akane sebab dia sendiri adalah pemuda ambisius yang percaya pada rekannya hingga titik darah penghabisan—atau paling tidak, barangkali itulah tujuannya.

Bocoran itu mengandung informasi internal, di samping data utama paling rahasia. Pelakunya sudah pasti seorang anggota klub. Orang itu kemungkinan besar berada dalam tim yang sama. Demi alasan keamanan, data setiap tim hanya bisa diakses oleh anggota dari tim masing-masing. Anggota klub lain telah mengetahui hal ini dan sudah memikirkan pelakunya.

Tapi tetap saja, dia tidak akan menjual teman-temannya; itulah tindakan yang dilakukan Ginjou. Jadi wajar saja, dia tidak bisa menyebut nama “Shiraseki Kai”, seakan dia pernah menganggapnya sebagai teman.

“… Shiraseki, kauhadir?”

“Di sini,” jawabnya, berdiri saat namanya dipanggil, dan sadar betul bahwa pergerakannya disertai oleh tatapan dari semua orang yang ada dalam ruangan.

“Jawablah dengan singkat dan jelas,” suruh Akane. “Investigasi kami membuktikan bahwa kecaman itu diketik dengan komputer yang kaugunakan dalam klub ini. Apa kau punya pernyataan lain?”

“… Tidak.” Jawabannya menciptakan gelombang bisikan lain di seisi ruangan. Akane melambaikan tangan layaknya memimpin orkestra dan membunuh kehebohan dengan seketika.

Kai menutup mata. Dia sudah tahu kalimat yang harus ia katakan, tapi hal itu justru terkait di tenggorokannya. Dia tidak tahu apakah itu karena dia kehabisan ludah, tetapi entah mengapa, mulutnya terasa kering sampai ke pangkal lidah, dan butuh beberapa saat hanya untuk mengambil napas.

Dia menarik napas dalam-dalam dan kemudian membuka mata. Dia mengumpulkan semua kelembapan di mulutnya dan diam-diam berdehem. “Pesan di komputer itu … aku yang mengetiknya,” ungkapnya, “akulah pelakunya.” Dia sudah tahu apa yang harus dikatakan sejak mengikuti rapat dan, dengan bagian pertama yang terdengar kaku, sisa kalimatnya pun mengalir keluar. “Dengan ini, aku, Shiraseki Kai dari Tim 10 ….” Yang tersisa baginya hanyalah ucapan selamat tinggal. “… mengundurkan diri dari Klub Game Sosial SMA Tsukigase.”


Tinggalkan komentar